SKANDAL MEMPERLIHATKAN KELEMAHAN ISLAM
Oleh : Spengler
“Pernahkah anda dengar tentang seorang Gnostik Jerman?”
“Ia tidak bisa menjaga diam-diam”
Seorang mistikus Jerman, begitulah Profesor Muhammad Sven Kalisch, seorang mualaf Jerman yang mengajar teologia Islam di Universitas Munster. Kalisch gres-gres ini telah meletakkan telur Gnostik di sarang Islam, menyatakan bahwa “Nabi Muhammad tidak pernah ada, setidaknya tidak dalam versi yang diceritakan dalam Tradisi Islam” klaim Kalisch. Mengingat bahwa Kalisch memegang jabatan akademis yang khusus dibiayai pemerintah untuk mengajar guru-guru Islam di sekolah-sekolah negeri di Jerman, maka skandal terjadi, pertama kali dilaporkan dalam media pers utama berbahasa Inggris oleh Andrew Higgins, Wall Street Journal edisi 15 November.
Ketika dibaca lebih dekat, Kalisch ternyata memperlihatkan tantangan yang jauh lebih besar untuk Islam daripada para kritikus sekuler yang menolak klaim-klaim Islam. Judul yang menyatakan ‘Seorang Akademisi Muslim Memiliki Keraguan Atas Keberadaan Nabi Muhammad’ ternyata kurang menarik dari pada penjelasan mengapa dia mempunyai keraguan seperti demikian. Kalisch tidak ingin menyakiti Islam, melainkan untuk mengungkapkan apa yang beliau yakini sebagai sifat sejatinya. Dia berpendapat bahwa Islam benar-benar merupakan aliran spiritual Gnostik yang menyamar dibalik mitos-mitos. Varian bid'ah Islam ala Kalisch mungkin cukup akrab dengan maksud asli dari agama untuk memprovokasi sebuah penilaian ulang dari sumber-sumber asli.
Sebuah karya kasih dari dalam benteng teologi Islam sendiri akan menggenapi apa yang ketapel-ketapel milik para kritikus tidak mampu lakukan dari luar tembok. Kritik Alquran, telah saya paparkan selama bertahun-tahun (di sini dan di daerah lain - You say you want a reformation? Asia Times Online, August 5) ialah tumit Achilles-nya 'agama. Argumen tersebut telah dibuat oleh Elaine Pagels dan promotor lain wacana 'Bibel Gnostik', dan itu ternyata keliru. Namun dalam kasus Islam, mungkin ini akurat.
Kalisch seorang Gnostik, percaya pada kebenaran-kebenaran diam-diam rohaniah yang mendasari mitos-mitos yang dibuat untuk mendidik kaum awam. Tapi beliau seorang Gnostik Jerman, Dan kesudahannya merasa perlu memaparkan rahasianya dalam makalah akademis yang menyeluruh dengan catatan kaki dan bibliografi yang luas. Ini yaitu cara yang ajaib dan tidak eksklusif memvalidasi diktum dari seorang teolog besar Yahudi Jerman, Franz Rosenzweig, yang menyatakan: Islam yakni parodi dari Yudaisme dan Katolik.
Adalah suatu persimpangan akademis yang agak membingungkan sebagaimana Kalisch berpikir bahwa pertempuran besar agama akan diperjuangkan, bukan di konferensi akademik dan kesempatan foto dengan Paus. Sebagai acuan: Islamologists Kristen yang menyelenggarakan pertemuan sarjana Kristen dan Muslim di Roma 4 – 7 November membayangkan reformasi sedikit demi sedikit di dalam Islam melalui versi Turki yang lebih santai (lihat A Pyrrhic propaganda victory in Rome Asia Times Online, November 12, 2008 and Tin-opener theology from Turkey Asia Times Online, June 3, 2008). Meskipun upaya terbaik mereka pada pertemuan teratur dengan Islam, peristiwa-kejadian lain tetap saja memiliki cara untuk menyalip mereka. Maret lalu, Paus Benediktus secara langsung mendapatkan jurnalis Italia kelahiran Mesir, Magdi Allam, ke dalam dogma Nasrani pada Malam Paskah. Pada Bulan September, Kalisch menjatuhkan bom sendiri. Dengan cara ini, justru lebih mematikan.
Sebenarnya, sebuah kelompok kecil sarjana Qur'an telah usang mewaspadai keberadaan Muhammad. Namun, alasan akademis mereka cukup menarik. Mereka mempertanyakan apakah bermanfaat mengekspos dugaan kejahatan yang dibuat oleh Nabi Muhammad, yang mana mungkin saja ia tidak pernah hidup (The Koranic quotations trap Asia Times Online, May 15, 2007). Awal tahun ini, aku melaporkan kemajuan para kritikus, serta munculnya terlambat dari harta karun-fotokopi naskah Qur'an yang disembunyikan oleh Islamologists Nazi (Indiana Jones meets the Da Vinci Code Asia Times Online, January 18, 2008) Nazi ternyata mempunyai kepentingan Gnostik dalam Islam (mereka menyebutnya “Gnazis”). Naskah-naskah dan salinan sekarang di bawah kendali ulama utama di Universitas Berlin, dengan ikatan kepentingan yang mendalam dengan negara-negara Arab.
Kalisch yakni sarjana Muslim pertama yang mempersoalkan keberadaan Nabi, sambil tetap memeluk Islam. Jika Nabi tidak pernah ada, atau dalam perkara apapun tidak pernah mendikte Al Qur'an, “maka mungkin saja bahwa Qur'an benar-benar diilhami oleh Tuhan, narasi besar dari Allah, tetapi tidak didikte kata demi kata dari Allah kepada Nabi", katanya kepada sebuah koran Jerman. Kalisch, seorang Protestan Jerman yang masuk Islam saat cukup umur dalam sebuah pencarian agama yang logis, Kalisch dapat hidup dengan alternatif membaca Islam. Sangat sedikit dari satu setengah milyar Muslim yang mampu mirip ia.
Selama berabad-masa Islam telah mempertahankan diri tidak mau tunduk pada kritik sejarah seperti halnya yang dikenakan pada Yudaisme dan Kristen. Tidak ada yang mampu memberikan klarifikasi alternatif untuk kegigihan yang unik dari orang-orang Yahudi setelah 30 masa kehidupan bangsa mereka terdokumentasikan. “Jika Musa tidak ada, kemudian siapa yang membawa kami keluar dari Mesir?" jawaban orang Yahudi kepada mereka yang skeptis. Ketika diceritakan bahwa mungkin mereka tidak keluar dari Mesir, orang-orang Yahudi akan menjawab, “Lalu apa yang kita lakukan di sini hari ini ?”
Orang Kristen, dengan cara yang sama, membaca tulisan-tulisan banyak individu yang entah bertemu dengan Yesus dari Nazaret atau menuliskan cerita-dongeng Yesus dari tangan kedua, yang percaya bahwa beliau yaitu anak Allah. Namun bukti keilahian Yesus sepenuhnya tidak mampu dibuktikan. Jika Tuhannya orang Kristen ingin memerintah dengan keagungan dan kekuasaan, ia tidak akan tiba ke bumi sebagai manusia untuk mati di kayu salib. Tuhannya Nasrani meminta cinta dan dogma, bukan ketertundukan di hadapan suatu keagungan. Orang Nasrani tidak diminta untuk mengambarkan yang tidak bisa dibuktikan, tetapi untuk menyayangi dan percaya. Muslim mempunyai duduk perkara yang berbeda : kalau Muhammad tidak menerima Al Qur'an dari Allah, lalu dengan apa mereka memulai keyakinannya? Kalisch mempunyai sejenis tanggapan yang hanya seorang akademisi Jerman mampu lakukan.
“Kita hampir tidak mempunyai sumber-sumber Islam yang asli dari dua abad pertama Islam” Kalisch meneliti dalam makalah-makalah berbahasa Jerman yang tersedia di Munster University. Sungguh suatu bacaan yang menarik, dan sebab belum tersedia dalam Bahasa Inggris, saya mencoba menerjemahkan atau mengikhtisarkan beberapat poin penting. Kesalahan terjemahan interpretasi ialah milik saya sendiri.
Kalisch melanjutkan, "Dan bahkan dikala suatu sumber tampaknya datang dari kurun ini, kehati-hatian tetap diharapkan penegasan belaka bahwa suatu sumber berasal dari kala pertama atau kedua dalam kalender Islam tidak punya arti apa-apa.
Dan bahkan saat sumber sebenarnya ditulis di masa pertama atau abad kedua, kecurigaan akan adanya suatu manipulasi dari waktu-waktu terkemudian masih harus dipertahankan. Kita tidak punya bukti yang besar lengan berkuasa akan keaslian sumber-sumber islam sampai 3 era pertama kalender Islam!”
Kalisch mengamati, ini sangat mencurigakan: bagaimana bisa sebuah agama dunia muncul dari kevakuman maya sastrawi ? Apalagi sebuah agama besar, niscaya menghasilkan juga bid'ah-bid'ah. Dimanakah bid'ah dan gnostik Islam?
Teolog-teolog Islam terkemudian tahu judul dari beberapa karya mereka, tetapi isinya sendiri sudah hilang. "Satu-satunya klarifikasi atas kehilangan tersebut yakni bahwa hal itu sudah lama menjadi tidak mampu digunakan secara teologis" dia menuduh sumber-sumber Sy'iah tertentu.
Kalisch menawarkan karya populer dari Patricia Crone dan Martin Hinds, yang mana kritik mereka, dari versi yang bisa diterima, hanya disambut oleh sedikit saja cendikiawan Qur'an :
"It is a striking fact that such documentary evidence as survives from the Sufnayid period makes no mention of the messenger of god at all. The papyri do not refer to him. The Arabic inscriptions of the Arab-Sasanian coins only invoke Allah, not his rasul [messenger]; and the Arab-Byzantine bronze coins on which Muhammad appears as rasul Allah, previously dated to the Sufyanid period, have not been placed in that of the Marwanids. Even the two surviving pre-Marwanid tombstones fail to mention the rasul".
“Adalah fakta yang mencolok bahwa bukti dokumenter dari kala Sufyanid tidak pernah menyebutkan wacana ‘Utusan Allah’ sama sekali. Semua papyrus tidak merujuk kepadanya (Muhammad). Inskripsi-inskripsi pada koin-koin Arab-Sasania hanya bertuliskan Allah, tanpa ada frasa ‘utusan-Nya’ [Muhammad], dan koin perunggu Arab-Bizantium dimana Muhammad muncul sebagai rasul Allah, yang sebelumnya tertanggal pada peroide Sufyanid, belum ditempatkan sebagai abad Marwanid. Bahkan dua batu nisan pra-Marwanid tidak pernah menyebutkan ihwal utusan Allah.”
"Skandal besar dalam tradisi Islam ialah tidak adanya formulasi Islam dari koin dan monumen yang berasal dari dua era pertama, serta adanya bahan-bahan yang terang tidak kompatibel dengan Islam. Koin dan prasasti yang ada tidak sesuai dengan penulisansejarah Islam.” Kalisch menyimpulkan validitas riset karya yang lebih lama, termasuk Yehuda Nevo dan Judith Koren dalam ‘Crossroads to Islam’.
Prasasti tertua dengan formulasi "Muhammad Rasulullah" adalah ditemukan pada tahun ke-66 perhitungan Islam (688 M), dan setelah itu digunakan terus menerus. Tetapi ada juga koin yang ditemukan di Palestina, mungkin dicetak di Amman, di mana kata "Muhammad" ditemukan dalam goresan pena Arab di satu sisi, dan gambar seorang pria memegang sebuah salib di sisi lain (gambar Yesus). Kalisch mengutip ini dan selusin pola-teladan lain. Mengutip Nevo - Koren dan sumber-sumber lainnya, Kalisch juga mendapatkan bukti bahwa tidak ada penaklukan Islam terjadi seperti yang disajikan dalam sumber-sumber Tradisi Islam terkemudian, melainkan suatu pengambil-alihan kekuasaan secara tenang dari kekaisaran Bizantium kepada sekutu-sekutu lokalnya, Bangsa Arab.
Kalisch melanjutkan paparannya, “Yang pasti, banyak sekali penjelasan yaitu memungkinkan menyangkut kurangnya penyebutan Nabi pada masa awal Islam, dan itu tidak pertanda ketidak-beradaan Muhammad historis. Tapi yang paling menakjubkan, dan membawa kita pada pertanyaan besar, apa sih signifikansi Muhammad bagi umat Muslim yang orisinil bila seandainya dia memang ada?” (penerjemah : Maksud Kalisch ialah, jikalau pun Muhammad memang ada, apakah ia benar-benar penting mirip pandangan & dogma umat islam dikala ini? Jikalau dia memang penting, mengapa ia tidak pernah muncul dalam prasasti dan dokumen manapun? Bahkan nama Muhammad pada koin, justru bergambar Yesus yang sedang membawa salib!).
Bukti-bukti numismatik (koin-koin logam dari zaman tersebut), arkeologi, kritik sumber dan lainnya yang bertentangan dengan versi Tradisi Muslim telah dengan baik dikembangkan dan dikemukakan oleh para sarjana. Tetapi tidak pernah diterima oleh orientalis arus utama. Orang yang sinis mungkin memperlihatkan fakta bahwa sebagian besar acara studi Timur Tengah di Barat sampaumur ini didanai oleh pemerintah Negara-negara Islam, atau tergantung pada kemauan baik dari pemerintah Timur Tengah akan susukan ke sumber-sumber materi. Bagaimanapun para akademisi tidak hanya korup,tetapi juga mudah percaya.
Sekarang timbul pertanyaan : bila Muhamad tidak pernah ada, atau dia tidak hidup sebagaimana yang digambarkan selama ini, mengapa begitu banyak perjuangan dikhususkan dalam tahun-tahun kemudian untuk membuat ribuan halaman dokumentasi palsu dalam Hadis dan cara-cara lain?
Jika mengapa Muhammad adalah kisah yang dikarang-karang, oleh siapa, dan untuk tujuan apa? Kisah Hijriyah, berpindahnya Muhammad dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 diduga menyediakan petunjuk. Menurut Kalisch. “Tidak ada nabi disebutkan dalam Al Qur'an sesering Musa. Dan tradisi Islam selalu menekankan kesamaan yang banyak antara Musa dan Muhammad,” tulisnya. “Kisah sentral dalam kehidupan Musa, yaitu hijrahnya Bani Israel yang tertindas dari Mesir ke Tanah Terjanjikan, dan kejadian sentral dalam kehidupan Muhammad ialah hijrahnya umat yang tertindas keluar dari Mekah ke Madinah ... Kecurigaan besar muncul di sini bahwa Hijriyah muncul hanya untuk alasan ini dalam kisah Nabi, sebab citra kisah Muhammad harus memalsukan citra Musa”.
Lebih jauh lagi, “Citra Yesus juga dilihat sebagai Musa yang gres. Keterhubungan Muhammaddengan sosok Yesus disajikan dalam tradisi Islam melalui putrinya Fatimah, yang diidentifikasi sebagai Maria. Paralelisme Fatimah-Maria-Isis sudah dikenal oleh para peneliti. Dengan diambil alihnya Mekkah, Muhammad setidaknya kembali ke titik asalnya. Jadi kita mempunyai struktur melingkar khas mitologis, di mana awal dan tamat ialah identik. Struktur melingkar Gnostik menghadirkan konsep perihal kembalinya jiwa ke kawasan asalnya. Jiwa untuk suatu ketika dipisahkan dari asal-usulnya, dan harus kembali ke sana demi keselamatannya.”
Kalisch menyimpulkan bahwa Islam itu sendiri bermula dari sebuah ajaran Gnosis, sebuah fatwa rahasia mirip dengan sumber-sumber Nasrani Gnostik yang ditolak oleh para Bapa Gereja. "Mitos-mitos Muhammad mampu jadi produk dari Gnosis, yang ingin menyajikan teologi dalam sebuah mitos gres dan asli dengan protagonis gres, namun bantu-membantu yaitu protagonis usang (Musa, Yesus). Bagi penganut Gnostik hal ini selalu terperinci, bahwa cerita-cerita ini bukanlah dongeng kebenaran sejarah, melainkan teologi. Musa, Yesus dan Muhammad hanya karakterisasi yang berbeda dari seorang pendekar mistis atau anak Allah, yang akan menggambarkan suatu ajaran spiritual lama dalam bentuk mitikal "
Dia menjelaskan: “Dalam Gnosis Islam, Muhammad muncul bersama [anggota keluarganya] Ali, Fathimah, Hasan dan Hussein sebagai kekuatan kosmik ... Abu Mansur al Igli, seorang gnostis, mengklaim bahwa Allah pertama kali menciptakan Yesus, dan lalu Ali. Di sini tampaknya kita masih memiliki Kristus Kosmik. Jika Gnosis Katolik ada, maka demikian pula Gnostik Islam. Kemudian di dunia Arab Kristus Kosmik mengalami perubahan nama menjadi Muhammad. Dan Muhammad kosmik ini disajikan sebagai edisi gres dari Mitos Musa dan Yosua (= Yesus) sebagai nabi Arab”.
Haus akan diam-diam kecerdikan menarik Kalisch kepada Islam sejak sampaumur, dan membuatnya tetap dalam imannya meskipun kritik menghancurkannya. Sebagaimana ia tulis : “Ajaran-aliran mistisisme Islam tidak secara khusus milik Islam. Ajaran-fatwa ini bagaikan mata uang cetakan baru dalam percetakan filsafat perennial, yang ditemukan di mana-mana di dunia dalam banyak sekali tradisi ... Bagi saya, filsafat perennial yakni apa yang Al Quran maksudkan dikala dia berbicara wacana sebuah pedoman yang Tuhan bawa kepada umat insan di segala zaman”.
Pandangan saya sendiri pada subjek mistisisme Islam yang terkandung dalam sebuah esai terakhir, (Sufism, sodomy and Satan Asia Times Online, August 12, 2008). Perlu dicatat bahwa Kalisch menganut sebuah sekte minoritas dalam minoritas Syi'ah dikala ini dalam Islam, adalah varian Zaidi. Kesimpulannya akan meyakinkan sedikit orang saja dalam arus utama Islam. Tapi karyanya memperlihatkan kerentanan besar Islam. Seperti yang aku tulis beberapa bulan kemudian, para Yesuit Jerman yang menyarankan Vatikan dalam masalah-duduk perkara yang berkaitan dengan Islam untuk berinvestasi dalam pembentukan moderat Islam Sunni di Turki, dan pada departemen teologi di University of Ankara secara khusus (Tin-opener theology from Turkey Asia Times Online, June 3, 2008).
Mungkin hal ini dapat dilihat dari berbagai macam varian dan kecenderungan bid'ah dalam Islam. Sesuatu yang sangat kuno dan orisinil seluruhnya lama terkubur dalam Islam mungkin berjuang ke permukaan. Telur burung itu seakan-akan menunggu saatnya untuk menetas. Perlu dicatat bahwa komunitas Islam Alevi Jerman (yang mana di Turki sendiri Alevi memiliki penganut 5 – 15 juta jiwa) mengungkapkan solidaritas mereka pada Kalisch saat dia diancam oleh organisasi muslim lainnya.
Datang dari kaum minoritas dalam minoritas, Kalisch telah memperlihatkan penjelasan baru dan kredibel dari motif di balik carut-marut besar sumber-sumber Islam selama era kedua dan ketiga sejarah agama tersebut. Saya tidak bisa mengevaluasi penanganan Kalisch terhadap sumber-sumber itu, tetapi prinsip yang dia kemukakan masuk akal. Ini yakni retakan lainnya dalam bangunan Islam, tetapi suatu retakan yang paling berbahaya, alasannya datang dari dalam.
0 Komentar