Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang mengimani kerasulan Muhammad, ia juga disebut dengan Khalifatur Rasul atau pengganti Rasulullah Muhammad sebagai pemimpin ummat. Abu Bakar yang memiliki nama awal Abdullah bin Abi Kuhafah At-Tamini menjabat sebagai khalifah selama kurang lebih dua tahun pada usia 58 tahun.
Setelah Rasulullah Muhammad wafat, kaum muslimin dihadapkan suatu permasalahan yang berat karena sebelum meninggal beliau tidak meninggalkan pesan tentang apa dan siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin ummat. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rasul Aliah-juga bisa wafat.
Fenomena tersebut tidak lepas dari sifat iman yang memang tidak linear, ada kalanya naik dan ada kalanya turun. Ketika seseorang yang keimanannya bersifat kultus lalu kehilangan sesuatu yang ia kultuskan, maka imannya akan goyah, bahkan hilang. Sebagaimana wafatnya Muhammad yang membuat banyak di antara orang-orang beriman berbalik mundur dan meragukan kelanjutan perjalanan Risalah, Baca Juga : Sejarah Ibrahim atau Abraham
Melihat gejala tersebut, Abu Bakar mendatangi Saqifah balai pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar milik Bani Sa'idah dan berpidato. Dalam pidatonya Abu Bakar mengatakan:
“Wahai manusia, siapa yang memuja Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati”.
Untuk memperkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip firman Allah dalam surat Ali Imran (3) ayat 144 berikut ini:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Kaum mu'min baik Muhajirin maupun Anshar, memiliki pandangan tersendiri terkait sosok yang tepat untuk menggantikan Muhammad. Mereka berargumen bahwa golongan Anshar lebih berhak duduk sebagai khalifah karena merekalah yang telah banyak menolong Rasulullah Muhammad dan kaum Muhajiin dari kejaran dan penindasan orang-orang kafir musyrik Mekah.
Di sisi lain, kaum Muhajirin pun merasakan hal yang serupa bahwa merekalah yang lebih berhak menggantikan Rasulullah sebagai khalifah karena merekalah yang terlebih dahulu mengimaninya dan berjuang bersamanya selama lebih dari tiga belas tahun. Di tengah-tengah suasana perdebatan, Abu Bakar mengambil jalan tengah dengan mengajukan dua nama yang bukan dirinya.
Abu Bakar menunjuk dua orang Muhajirin yang sangat dekat dengan Rasulullah, yaitu Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah dan mengusulkan kepada majelis (Perwakilan kaum Muhajirin dan Anshar) agar memilih salah satu di antara kedua nama yang diajukannya tersebut.
Melihat kebijaksanaan Abu Bakar yang sebenarnya memiliki kapasitas untuk mengklaim jabatan khalifah saat itu, tetapi justru mengajukan nama-nama di luar dari dirinya, kaum Muhajirin termasuk Umar bin Khaththab dan kaum Anshar dalam majelis itu justru berbalik menyetujui Abu Bakar untuk mengisi kekosongan kursi kepemimpinan.
Kerelaan kaum Anshar menerima Abu Bakar sebagai Khalifah tak lepas dari pengaruh Basyir bin Saad (pemuka kaum Anshar dari Bani Saad) yang mengatakan bahwa tak layak bagi kaum Anshar berebut kursi kepemimpinan dengan kaum Muhajirin setelah mereka menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Akhirnya, majelis tersebut sepakat dan membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah.
Dalam pidato singkatnya di hadapan kaum Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar mengatakan beberapa hal penting sebagai berikut:
"Wahai manusia! Aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Itulah sebabnya, jika aku melakukan kebaikan, bantulah aku. Dan jika aku berbuat salah, ingatkanlah aku. Jujur adalah sikap amanah dan dusta merupakan sikap khianat. Orang yang lemah di antara kalian kuanggap kuat di sisiku sebelum aku mengambil hak yang harus ditunaikan olehnya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah kecuali Allah akan menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan. Tidaklah perbuatan keji menyebar pada suatu kaum, kecuali Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Karena itu, taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul Nya, tidak ada ketaatan kepadaku bagi kalian. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kalian.”
Substansi pidato Abu Bakar menggambarkan bagaimana dia akan menjalankan pemerintahannya. Bagaimanapun, tidak ada seorang pemimpin dan kebijakan yang dapat menyenangkan semua pihak yang terlibat, tetap saya ada pihak pihak yang tdak menyukai terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifarur Rasul. Mereka itulah yang kelak merongrong kebijakan kebijakan khalifah di masa yang akan datang. Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapus berbagai permasalahan internal dan eksternal yang muncul semasa awal “bayi khilafah” itu.
Masa Khalfah Abu Bakar merupakan masa kritis karena dihadapkan sejumlah masalah seperti kemurtadan dan pembangkangan pada pemerintahan di Madinah yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah Muhammad dengan sendirinya batal karena wafatnya beliau, Beberapa kelompok murtad dan kembali ke agamanya semula, bergabung dengan kelompok yang dipimpin oleh nabi-nabi palsu, dan beberapa lainnya menolak untuk membayar pajak. Kemunculan nabi-nabi palsu dan pergerakan kaum munafik buah sakit hati pada masa lahu turut aktif merongrong kebijakan khalifah.
Sejatinya, apa yang dikatakan sebagai nabi palsu dan orang-orang murtad adalah orang-orang musyrik yang tidak mau tunduk kepada khalifah karena mereka merasa lebih tinggi dan lebih mulia (aba wa istakbar) sebagaimana fragmentasi kisah Iblis dan Adam. Atas hasil musyawarah dengan para sahabat, Abu Bakar kemudian membenruk 11 pasukan yang di antaranya dipimpin oleh Khalid bin Walid yang ditugaskan untuk memerangi Thulaihah bin Khuwalid seorang nabi palsu dan Malik bin Marwan seorang pemberontak, Ikrimah bin Abi Jahil yang ditugaskan memerangi Musailamah Al-Kadzdzab nabi palsu di Yamamah.
Setelah kurang lebih dua tahun menjabat sebagai seorang Khalifah, kesehatan Abu Bakar mulai menurun. Ketika Abu Bakar mulai merasakan sakitnya semakin parah beliau memanggil para sahabatnya dari Kaum Muhajirin maupun Kaum Anshar, di antaranya Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, serta beberapa sahabat yang lainnya.
Tujuan Abu Bakar mengumpulkan para sahabat adalah meminta persetujuan mereka untuk menunjuk Umar bin Khaththab sebagai khalifah selepas kepergiannya. Para sahabat pun setuju atas usulan suksesi kekhalifahan tersebut. Utsman bin Affan-lah yang kemudian menuliskan wasiat Abu Bakar tersebut dalam sebuah surat. Dengan cara demikian, Abu Bakar menutup celah perselisihan dalam proses pergantian khalifah sepeninggalnya. Abu Bakar meninggal karena sakit dalam usia 60 tahun pada tanggal 23 Agustus 634 M ketika Perang Yarmuk tengah berkecamuk.
Umar bin Khaththab (13-24 H/634-644 M)
Dengan dibacakannya surat wasiat Abu Bakar, secara sah Umar bin Khaththab resmi menjabat sebagai Khalifatur Rasul yang kedua. Umar bin Khaththab merupakan pemuka kaum Quraisy yang ahli berdiplomasi, ia menjabat sebagai khalifah pada usia 50 tahun, Meskipun Umar berhasil membawa khilafah yang dipimpinnya menjadi salah satu kekuatan besar baru di wilayah Jazirah Arabia, tetapi gaya hidupnya yang sederhana tidaklah berubah.
Khalifah Umar dapat dikatakan sebagai pelopor perundang-undangan dalam pemerintahan khilafah. Beliau telah membuka lembaran baru dalam sejarah Islam, dengan menyusun dewan-dewan khilafah, mengatur peradilan dan administrasi, menyempurnakan Baitul Mal, memperlancar komunikasi antar berbagai daerah dengan membuat dewan pos. Dengan kata lain, beliau meletakkan dasar-dasar dalam setiap perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai panutan di masa-masa selanjutnya. Sebagai contoh adalah asas musyawarah yang telah dipraktikkan oleh Umar dalam pemerintahannya. Beliau mengumpulkan para sahabat yang ahli di berbagai bidang untuk bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan. Para sahabat ini sengaja tidak ditugaskan ke luar Madinah karena mereka diharapkan dapat memberikan pendapat ataupun dukungan dan bantuan pemikiran kepada Khalifah Umar (1 fatmawati, 2010: 143-144).
Dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan khalifah, maka tata kelola pemerintahan harus diatur kembali. Oleh karena itu, Khalifah Umar mulai merintis tata kelola pemerintahan yang bercorak desentralisasi. Sejak masa Umar, pemerintahan dikendalikan oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan provinsi. Perkembangan baru sistem peradaban juga terjadi pada masa pemerintahannya Ia memisahkan antara lembaga peradilan (yudikatif) dengan lembaga pemerintahan (eksekutif) karena semakin luasnya wilayah kekuasaan.
Pada masa Khalifah Umar, sahabat-sahabat terdekat tidak diperbolehkan untuk keluar daerah, kecuali atas izin dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Dengan meluasnya wilayah khilafah sampai keluar Jazirah Arab, khalifah turut memikirkan pendidikan Islam di daerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Oleh karena itu, ia memerintahkan para panglima perangnya supaya mendirikan masjid di tiap-iap kota yang mereka taklukkan sebagai tempat ibadah dan pendidikan (Asrohah, 2001: 17). Khalifah Umar pun termasuk seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan itu. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat pengajaran Islam.
Khalifah Umar juga sangat memperhatikan keadaan sosial di sekitarnya, seperti kaum fakir miskin, yatim piatu, dan para janda pun mendapat perhatian yang besar. Penduduk ahli al-dzimmah (penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam) juga mendapat pelayanan dan perlindungan pada masa kekhalifahannya melalui perjanjian yang antara lain menyatakan:
Keharusan orang-orang Nasrani menyiapkan akomodasi dan konsumsi bagi para tentara Muslim yang memasuki kota mereka, selama tiga hari berturut-turut”,
Di samping penaklukan wilayah yang cepat, Khalifah Umar juga melakukan banyak reformasi administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. la juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah khilafah dan memulai proses kodifikasi hukum Islam. Kemudian, pada sekitar tahun ke-empat kekhalifahannya atau sekitar 16 tahun setelah peristiwa hijrah ke Yastrib. Umar juga mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah tersebut.
Kegemilangan Khalifah Umar dalam menundukkan Persia dan membawa tawanan perang pulang ke Madinah besertanya menyimpan resiko yang cukup fatal. Diceritakan bahwa seorang Persia, Fairuz alias Abu Lu'lu'ah, berhasil melukai Khalifah Umar dengan pedang yang dibubuhi racun dan akhirnya menewaskannya. Umar bin Khaththab wafat pada tanggal 9 November 644 M dalam usia 60 tahun. Fairuz adalah orang Persia yang menaruh dendam atas kekalahan kekaisarannya terhadap khilafah yang dipimpin Umar. Namun, berdasarkan catatan Syibi Nu'mani dalam Umar bin Khaththab yang Agung, pembunuhan terhadap Umar dilatarbelakangi persoalan pajak. Tragedi pembunuhan Khalifah Umar tersebut membuka sejarah kelam politik kekhalifahan, meskipun banyak yang harus dikritisi dari sumber sejarah yang menceritakan demikian.
Utsman bin Affan (24-36 H/644-656 M)
Menjelang wafatnya Umar bin Khaththab, Utsman telah membentuk sebuah dewan yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf. Dewan tersebut beranggotakan enam orang sahabat yang saat itu dianggap paling tinggi derajatnya. Keenam anggota dewan tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Dewan tersebut bertugas memilih salah satu dari mereka untuk menjadi khalifah sepeninggal Umar dengan cara musyawarah mufakat. Akhirnya, dewan bersepakat dan menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khaththab.
(Utsman bin Affan menjabat khalifah pada usia 65 tahun. Ia berasal dari Bani Umayyah yang sudah cukup berpengalaman ikhwal tata kelola sebuah pemerintahan negara sejak sebelum tegaknya khilafah. Pada saat Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam tim penulis wahyu yang kemudian pada masa kekhalifahannya, Al-Quran dikodifikasikan dengan baik.
Dalam manajemen pemerintahannya, Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Beberapa nama pejabat dari kalangan Bani Umayyah yang Utsman angkat dalam pemerintahannya adalah Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai Gubernur Syam, Abdullah bin Amir sebagai Gubernur Basyrah,
Walid bin Uqbah sebagai Gubernur Kuffah, Abdullah bin Sa'ad sebagai Gubernur Mesir, dan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris Khalifah.
Tindakan Utsman tersebut memunculkan ketidakpuasan ummat, meskipun pada dasarnya penunjukan itu juga berdasarkan kemampuan dan kecakapan orang-orang tersebut dalam menempati jabatan yang diembankan kepadanya. Namun, dalam perjalanannya gubernur-gubernur pilihan Utsman itu dianggap tidak amanah dalam menjalankan tugasnya, bahkan cenderung sewenang-wenang. Selain isu nepotisme, ketidakpuasan beberapa kelompok terhadap kepemimpinan Utsman juga disebabkan oleh besaran pembagian pampasan perang antara pusat dan daerah. Kekisruhan tersebut membuka celah bagi munculnya para pemberontak ke permukaan dan berupaya menggoyah kursi kepemimpinan Khalifah.
Puncaknya, para tentara Mesir yang tidak puas dan melakukan aksi protes terhadap kebijakan khilafah berhasil membunuh Khalifah Utsman di rumahnya sendiri. Peristiwa tragis tersebut seolah-olah mempertegas lemahnya sistem kekhalifahan Islam, meskipun sekali lagi dikatakan terlalu banyak misteri yang tertinggal dalam narasi sejarah kelam khilafah bikinan orang-orang yang sedari awal membenci tegaknya Khilafah Islamiyah.
Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Semenjak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, ummat Islam mengalami masa falaq yang sangat berat. Hal ini membuat mayoritas ummat Islam kecuali mereka yang mendukung Muawiyah bin Abu Sofyan pada saat itu, mendaulat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan. Versi lain sejarah mengatakan bahwa usai Khalifah Utsman wafat, kaum pemberontaklah yang memegang kendali khilafah dan bahkan mendaulat Ali bin Abi Thalib untuk menjadi Khalifah menggantikan Utsman. Meskipun pada awalnya Ali menolak diangkat menjadi Khalifah, akan tetapi desakan kaum pemberontak yang sangat kuat membuatnya pasrah dan akhirnya setuju dibaiat menjadi seorang khalifah yang keempat pada usia 54 tahun.
Begitu Khalifah Ali dibaiat, para lawan politik kaum pemberontak yang mengangkat Ali menuntut keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Arus besar penuntutan tersebut datang dari Muawiyah, kerabat dekat Utsman. Bahkan Muawiyah bersikeras takkan bersumpah setia kepada khalifah sampai diambil langkah-langkah nyata. Untuk menghukum para pemberontak yang telah membunuh Utsman.
Namun Ali menyadari betul, bahwa keputusan untuk menghukum kaum pemberontak yang merupakan oligarki kekuasaan dalam tubuh khilafah berpotensi besar menimbulkan kekacauan internal dan berujung kepada pembunuhan terhadap dirinya.
Kondisi pelik ini tak pelak menimbulkan perseteruan politik kekhalifahan, bahkan memantik api perang saudara hingga akhir kepemimpinan Khalifah Ali. Masa pemerintahan Khalifah Ali dikatakan sebagai era kekacauan dan awal dari perpecahan di kalangan ummat Islam. Perang saudara bahkan terjadi antara pasukan Khilafah dan pasukan para penentangnya, dua diantaranya yang termasyhur adalah Perang Jamal dan Perang Shiffin. Lagi-lagi, narasi sejarah kelam politik Khilafah Islamiyah tersebut memaksa orang-orang yang datang setelahnya memandang buruk apa yang sebenarnya Allah nyatakan sebagai sesuatu yang baik.
0 Komentar