I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para hamba-Nya supaya menjalankan “Amar Ma’ruf wa Nahi Munkar”. Islam yang merupakan aliran agama semua nabi yang intinya mentauhidkan dan mengesakan-Nya. Demikian pula Islam yang diwahyukan kepada Muhammad Saw. sebagai Nabi yang terakhir telah mengantar manusia untuk sampai kepada tujuan untuk mampu mengabdi kepada-Nya.
Muhammad dilahirkan dalam cabang keluarga Hasyim dari keturunan aristokrat Quraisy (berkuasa awal masa VII) di Mekah. Umumnya sejarawan meyakini Muhammad lahir pada tahun 570 M. Keajaiban pun banyak menandai kehadiran kekasih Allah di persada bumi ini, diantaranya terjadinya penyerangan terhadap Ka’bah oleh Pasukan Bergajah di bawah pimpinan Abraham, namun dengan kekuasaan Allah yang senantiasa melindungi Ka’bah, menurunkan azab dengan perantara Burung Ababil. Dalam waktu yang bersamaan, padam pula api sembahan Kisra Persia yang tak pernah padam selama seribu tahun. Kisah ini diabadikan dalam Q.S.Al-Fiil (105). “Apakah kau tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah? 2. Bukankah beliau Telah mengakibatkan akal bulus mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? 3. Dan dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, 4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, 5. Lalu dia menimbulkan mereka mirip daun-daun yang dimakan (ulat).”[1]
Muhammad bin Abdullah yaitu pembawa risalah, pembangun umat, dan pendiri sebuah kedaulatan negara. Dia menyampaikan risalahnya di kota Mekah tahun 610 M. Hingga hari ini, risalahnya telah diikuti oleh sepertujuh penduduk dunia, terdiri atas banyak sekali ras. Bahkan suatu pemerintahan kecil yang beliau dirikan di kota Madinah yang pengaruhnya lalu menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabiah sebelum dia wafat. Satu abad setelah itu menjadilah sebuah kekaisaran besar pada periode pertengahan.[3]
Muhammad tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang bobrok dan rusak. Di antara tanda kebejatan itu adalah fanatisme kesukuan, pemisahan antara kelompok kaya dan miskin, penistaan kepada perempuan, kerusakan agama karena menitikberatkan kepada penyembahan berhala, mudahnya seseorang menghilangkan nyawa dan merampas harta orang lain dan sebagainya.
Selama dua puluh tahun ia berdakwah, dan berkat ketabahannya ia mampu menyingkirkan semua bentuk kerusakan itu, menyatukan suku-suku yang terpecah belah menjadi bangsa Arab yang bersatu, dan meletakkan keimanan sebagai pengikat tali persaudaraan antara sesama orang mukmin. Nabi saw. tidak pernah membedakan antara bangsa Arab dan bukan Arab, antara kaya dan yang miskin, antara yang putih dan hitam, antara satu golongan dengan golongan yang lainnya, ataupun antara Timur dan Barat. Nabi saw. tidak pernah terpengaruh dengan ras dan kebangsaan dikala memberikan ajarannya, dan juga tidak dipengaruhi oleh aristokratisme (penganut paham bahwa negara harus diperintah di bawah kekuasaan kaum ningrat / bangsawan).
Nabi Muhammad saw. yakni sosok yang paling baik dalam mitos dan realistis. Hal ini mampu dilihat secara meyakinkan, dalam kariernya selama 23 tahun, Nabi Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik, melalui pembentukan sistem masyarakat dan politik di Madinah.[4] Beliau berangan-angan mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik dari masyarakat Jahiliyah. Ketika ia mulai melangkah dan melaksanakan angan-angannya, beliau sangat hati-hati menerapkan anjurannya dengan kenyataan yang ada di lapangan dan tingkat budaya yang telah dicapai oleh kaumnya. Dia melihat ke depan dengan pelajaran yang telah dialami pada kala lampau. Dia sangat yakin bahwa perkembangan sedikit demi sedikit, perlahan, dan penuh kebijakan yakni sangat penting.
Untuk itu, cukup penting untuk dikaji sejarah hidup Muhammad, baik pada periode Mekah maupun Madinah yang meliputi sistem dakwah dan perjuangannya dalam menegakkan syiar Islam.
B. Permasalahan
Dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem dakwah dan usaha Nabi Muhammad di Mekah?
2. Bagaimana sistem dakwah dan usaha Nabi Muhammad di Madinah?
A. Sistem Dakwah Dan Perjuangan Nabi Muhammad Di Mekah
Nabi Muhammad menerima wahyu pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril di Gua Hira’ tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610 M.
Setelah beberapa waktu Malaikat Jibril tidak pernah muncul untuk beberapa lama, sedangkan Nabi selalu menunggu-nunggunya. Setelah turunnya surah al-Muddatsir (74) : 1-7, yang berbunyi : “1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. Dan Tuhanmu agungkanlah! 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah kau memberi (dengan maksud) memperoleh (akhir) yang lebih banyak. 7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”[5]
Setelah turunnya ayat ini Nabi mendapat peran untuk menyerukan agama Allah ke seluruh umat manusia. Berdasarkan perintah Tuhan itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan sobat-sahabatnya. Karena itulah, orang yang pertama kali mendapatkan dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Setelah beberapa usang dakwah tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah biar Nabi menjalankan dakwahnya secara terperinci-terangan.
Mula-mula beliau menyeru dan mengundang kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib dan seterusnya kepada seluruh lapisan masyarakat umum. Setelah tiga sampai empat tahun Nabi berdakwah tercatatlah 40 orang yang beriman kepada risalah yang dibawanya. Pada awalnya masyarakat Quraisy mencemoohkan dakwah Nabi, namun dikala mereka menyadari kemajuan dakwah Nabi, para pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Nabi.[6]
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi contohnya; mereka membujuk Abu Thalib supaya mau menghentikan dakwah Nabi karena mereka menduga bahwa kekuatan Nabi terletak pada pemberian dan pembelaan pamannya (Abu Thalib) yang amat disegani di kalangan para pemuka Quraisy. Namun ternyata mereka gagal dalam menjalankan politiknya. Merasa gagal dengan cara ini, kemudian mereka mengutus Walid ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid seorang cowok untuk dipertukarkan dengan Nabi dengan syarat Nabi juga diserahkan kepada mereka.
Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan oleh kafir Quraisy gagal, tindakan-tindakan fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap Nabi dan kaum muslim itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan para pengikutnya keluar Mekah. Pada tahun kelima kerasulannya Nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai negeri kawasan pengungsian sebab Negus (raja negeri itu) ialah orang yang adil dan memberi derma kepada agama-agama lain beserta penganutnya, rombongan ini berjumlah kurang lebih 100 orang.
Orang Quraisy berusaha untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadiran mereka, namun perjuangan mereka pun gagal.[7] Meskipun demikian, semakin kejam mereka memperlakukan para pengikut Muhammad, maka semakin banyak penduduk Mekah yang masuk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman mereka, dua orang pemuka sekaligus orang besar lengan berkuasa kaum kafir Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya kedua tokoh yang sangat besar lengan berkuasa ini, maka semakin kuatlah posisi umat Islam. Dengan menguatnya posisi umat Islam ini, semakin memperkeras reaksi kaum Quraisy. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada bantuan Bani Hasyim. Mereka melakukan pemboikotan pada Bani Hasyim dengan memutuskan segala relasi dengan suku ini. Tiada seorang pun penduduk Mekah diperkenankan untuk melaksanakan korelasi jual beli dan sebagainya dengan suku ini. Akibat pemboikotan tersebut Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang tak tertandingi.[8]
Bani Hasyim akibatnya pindah ke suatu lembah di luar Mekah yang biasanya dinamai Syib Abi Thalib (pertanahan Abu Thalib),[9] mereka mengalami penderitaan selama kurang lebih tiga tahun sampai lalu atas prakarsa Hisyam Ibnu Amr salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati pada kaum muslimin mengusulkan semoga pemboikotan tersebut dibatalkan.
Setelah meninggalnya Abu Thalib (paman Nabi) dalam usia 87 tahun, ditambah lagi dengan wafatnya Khadijah dalam usia 65 tahun yang hanya berselang tiga hari itu membuat Nabi sangat menderita. Peristiwa ini terjadi pada tahun 10 kenabian. Sepeninggal mereka kaum Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya kepada Nabi Muhammad. Pada kurun itu pula Isra’ dan Mi’raj terjadi.[10] Peristiwa isra’ mi'raj yang dialami oleh Rasulullah saw., yang pada dasarnya yakni bahwa di antara sekian ibadah mahdah yang diterima dan diperintahkan oleh Allah kepada hambanya seperti ibadah zakat, puasa dan haji, hanya satu ibadah yang diterima pribadi oleh Rasulullah saw., ialah ibadah shalat. Bahkan proses penerimaannya pun Allah swt., memanggil pribadi Rasul-Nya menghadap kepada sang Ilahi guna mendapatkan ibadah shalat. Dengan ber isra’mi’raj, Allah juga hendak meningkatkan semangat keimanan dan menenangkan perasaan rasul dari beban psikologis yang mampu melemahkan daya spritualnya.
Setelah insiden Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi dakwah Nabi muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yastrib (Madinah) yang menjanjikan keselamatan bagi Nabi dan para pengikutnya. Jaminan keselamatan yang datang dari arah yang sama sekali tidak dibutuhkan ini membuat Nabi sangat bangga. Penduduk Yastrib bukanlah orang-orang yang aktif ikut ambil bagian dalam perdagangan dan kekerabatan lain dengan Mekah dan daerah-kawasan sekutunya.[11] Selain itu, Yastrib sering menghadapi duduk perkara-duduk perkara dalam daerahnya sendiri. Ajakan tersebut diawali dari adanya pertemuan Nabi dengan enam orang cowok yang berasal dari Yastrib[12] pemuda-perjaka tersebut yakni: 1) As’ad bi Zurara dari Bani an-Najjar, 2) ‘Auf bin al-Harits bin Rifa’ah Ibnu ‘Afra’ dari Bani an-Najjar, 3) Rafi’ bin Malik bin al-‘Ajlan dari Bani Zuraiq, 4) Quthbah bin ‘Amir bin Hadidah dari Bani Salamah, 5) ‘Uqbah bin ‘Amir bin Naby dari Bani Haram bin Ka’ab, 6) Jabir bin Abdullah bin Riab dari bani ‘Ubaid bin Ghanam.[13]
Gelombang terakhir kedatangan orang-orang Yastrib terjadi pada tahun 622 M. yang terdiri dari 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Mereka lalu mengadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Iqrar Aqabah II.[14] Akhirnya umat Islam Mekah membisu-membisu hijrah ke Yastrib dalam jumlah yang sedikit. Muhammad menunda keberangkatannya untuk menuntaskan usahanya sendiri, ditemani oleh sobat setianya Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau dan Abu Bakar hingga di puncak Gunung Thawr yang tinggi, kira-kira satu jam setengah perjalanan dari Mekah dan mencari pinjaman di sebuah gua akrab puncak biar mereka aman dari kejaran orang-orang kafir Quraisy yang telah mengetahui keberangkatan Nabi Muhammad saw ke Madinah.
Nabi Muhammad menjalankan shalat Jum’at untuk pertama kalinya di perkampungan suku Bani Salim dan tinggal di sana selama beberapa hari di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah mesjid ialah masjid Quba. Inilah mesjid pertama yang dibangun Nabi sebagai pusat peribadatan.[15] Tiba di Yastrib bersama Abu Bakar eksklusif menuju ke rumah Abu Ayyub al-Anshary, hijrah inilah yang menerangkan berakhirnya era dakwah di Mekah dan dimulainya dakwah Nabi di Madinah.
B. Sistem Dakwah Dan Perjuangan Nabi Muhammad Di Madinah
Muhammad menerima sambutan yang hangat dari penduduk Yastrib dan orang-orang muslim yang telah hijrah lebih dulu. Beliau segera mendapatkan banyak pengikut dari kalangan Muhajirin dan sebagian penduduknya yang kemudian menyebabkan Nabi sebagai pemimpin mereka. Penduduk kota ini terdiri atas tiga golongan.
1. Penduduk orisinil (Anshar) disebut demikian alasannya adalah mereka membantu mewujudkan impian Nabi.
2. Para pendatang / imigran (al-Muhajirin) ialah mereka yang hijrah dari Mekah untuk mencari santunan di Yastrib.
3. Umat Yahudi yang sedikit demi sedikit dipaksa keluar dari tanah Arab.[16]
Nabi Muhammad memiliki kedudukan bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul sekaligus sebagai kepala negara.[17] Selanjutnya beliau menyusun langkah-langkah guna membuatkan Islam biar lebih efektif dan cepat menyebar ke seluruh dunia khususnya di tanah Arab itu sendiri.
Dalam rangka menunjang seni manajemen dakwah Rasulullah saw. di Madinah ini, maka yang pertama dilakukan yaitu membuat perjanjian berupa piagam persaudaraan antara kelompok-kelompok yang ada di Madinah, yang lalu dikenal dengan Piagam Madinah. Di antara pasal-pasalnya, piagam ini memutuskan kewajiban seluruh warga Madinah untuk bersatu dan saling pundak-membahu dalam membela negara terhadap serangan dari luar.[18]
Perlu pula dicatat di sini, bahwa sebelum adanya piagam persaudaraan tersebut, terlebih dahulu Nabi Muhammad membuat landasan yang kokoh terhadap Islam, adalah membangun masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat tali persaudaraan, penyusunan taktik dakwah dan penyusunan anutan negara.[19]
Ada beberapa langkah yang ditempuh dalam penyebaran agama Islam di kota Madinah sehingga gampang diterima oleh mereka dengan hati yang ikhlas ikhlas. Adapun langkah-langkah tersebut antara lain :
1. Memberikan kemerdekaan beragama kepada penduduk Madinah. Langkah pertama ini memperlihatkan angin segar terhadap Islam, karena justru akan menampakkan kebenaran Islam, karena Islam sendiri mengajarkan kepada pemeluknya agar menghormati iman kepada Tuhan dan pemeluk agama lainnya. Islam tidak memaksa supaya pindah agama, tindakan Rasulullah ini disambut dengan besar hati oleh penduduk Madinah yang beragama Yahudi, Katolik serta pemeluk agama lainnya
2. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah umat yang satu. Oleh alasannya adalah itu, manusia wajib memelihara persaudaraan dan saling tolong menolong. Sebab itulah Nabi menganjurkan kaum muslimin untuk mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka yang berada di luar agama Islam serta saling tolong menolong antara suku yang satu dengan suku yang lainnya atau antara qabilah yang satu dengan qabilah yang lain.
3. Islam mengajarkan bahwa setiap muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Sehingga persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Anshar makin akrab.[20]
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya sebuah persaudaraan Islam antara kaum Muhajirin (Mekkah) dan Anshar (Madinah), membangun pula semangat kebersamaan dan persatuan dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan dan balasannya membentuk satu kesatuan dari bangsa yang pluralistik. Perkembangan Islam yang itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan itu akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi menyusun siasat dengan membentuk pasukan. Dari golongan pertama (kaum anshar) dan kedua (kaum Muhajirin) Nabi mulai mengkoordinir dan membentuk sistem pertahanan (pasukan) dalam rangka pembelaan terhadap bahaya-bahaya yang berasal dari kafir Quraisy tersebut.
Ada beberapa peperangan yang terjadi pada masa Nabi. Perang pertama yang sangat menentukan abad depan negara Islam ialah perang Badar yang terjadi pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah. Peperangan ini disebabkan oleh beberapa faktor kecemburuan dan permusuhan terhadap penduduk Madinah yang telah memberi perlindungan dan mendukung perjuangan Muhammad. Peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin. Perang kedua ialah perang Uhud yang terjadi pada tahun 3 Hijriah di Bukit Uhud, golongan kafir Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan dan kaum muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sendiri. Peperangan dimenangkan oleh kaum Quraisy. Selanjutnya perang Khandaq terjadi pada tahun 5 Hijriah dan peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin. Inilah di antara beberapa peperangan yang terjadi dalam sejarah perkembangan agama Islam.
Dalam berperang, Nabi Muhammad saw. selalu menegaskan kepada para teman bahwa derma Allah akan selalu datang kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan penuh iktikad dan keikhlasan, serta tiada akibat bagi mereka yang mati syahid kecuali hanya nirwana Allah. Nabi juga menyatakan bahwa kemenangan perang tidak hanya terletak pada jumlah pasukan yang banyak, tetapi yang terpenting adalah adanya taufiq dan inayah dari Allah yang mana hal itu bisa diraih tatkala faktor-faktor non tekhnis, ialah ketakwaan yang terimplementasi dalam dzikir, sabar, tawakkal dan tawadhu` selalu melekat dan terjaga dalam diri setiap umat Islam.
Pada tahun 6 Hijriah ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar 1000 kaum muslimin ke Mekah, bukan lagi untuk berperang melainkan untuk ibadah umrah karena itu mengenakan pakaian ihram tanpa membawa senjata. Sebelum tiba di Mekah mereka berkemah di Hudaibiyah di antara Thaif dan Mekah.[21] dan di kawasan inilah diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain :
1. Kaum muslimin dihentikan mengunjungi ka’bah tahun ini hingga tahun depan,
2. Lama kunjungan dibatasi hanya hingga tiga hari saja.
3. Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah.
4. Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekah.
5. Tiap qabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin bebas melakukannya tanpa rintangan.
Perjanjian ini berdampak sangat signifikan terhadap dakwah Rasulullah, di mana karena kala tenggang waktu perjanjian Hudaibiyah, Nabi menggunakan untuk memperluas jangkauan dakwahnya, ialah secara berangsur-angsur ditujukan kepada kawasan-kawasan sekitar Madinah tanpa ada gangguan dari pihak Quraisy. Dari hasil perjanjian Hudaibiyah ini kemudian menjadi cikal bakal menuju tahap ekspansi dakwah Rasulullah saw. berikutnya.
Pada tahun 8 Hijriah terjadi penaklukan kota Mekah sekaligus memilih nasib bangsa Arab secara menyeluruh. Nabi memasuki kota Mekah tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun dari penduduk Mekah, ini terjadi pada tanggal 1 januari 630 M.[22] Pada tahun 10 Hijriah atau tepatnya tahun 632 M. Nabi menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan orang-orang Islam yang jumlahnya melebihi 100.00 orang, haji ini dikenal dengan haji Wada’.[23]
Tiga bulan berikutnya Rasulullah menderita sakit keras, para sahabatnya berkumpul di sekeliling mesjid dalam keadaan cemas. Beliau keluar dari rumahnya dengan ikatan di kepalanya, menuju mesjid dan duduk di atas mimbar. Merasa bila ajalnya sudah erat, dia memohon kepada kaum Muhajirin dan Anshar untuk memperlakukan satu sama lain dengan baik. Hari Senin tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awwal bertepatan dengan 8 Juni 632 M. Nabi Muhammad kembali kehadirat Tuhan dalam usia 63 tahun, di rumah Aisyah. Inilah final dari kehidupan Nabi Muhammad saw. Beliau sudah membawa misi dan menyebarkannya mulai dari Jazirah Arab sampai ke seluruh pelosok dunia, dan menghasilkan pembaharuan dalam bidang keagamaan dan sosial yang mampu merubah peradaban umat manusia.[24]
III. PENUTUP
Dari uraian yang dideskripsikan pada pembahasan, mampu disimpulkan ke dalam beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Dakwah dan usaha Nabi Muhammad saw. dilaksanakan dalam dua kurun, adalah periode Mekah yang berlangsung kurang lebih 13 tahun dan era Madinah yang berlangsung selama 10 tahun. Pelaksanaan dakwah pada fase Mekah mampu dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap dakwah secara diam-diam, tahap dakwah secara terperinci-terangan dan tahap dakwah di luar Mekah yang berlangsung pada simpulan tahun kesepuluh dari kenabian hingga hijrah ke Madinah. Pelaksanaan dakwah di Madinah dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap dipenuhi oleh fitnah dan ujian, tahap gencatan senjata dengan para pemimpin suku dan tahap masuknya orang-orang ke dalam Islam, baik di Madinah maupun di Mekah sehabis penaklukan Mekah. Masing-masing masa tersebut, dilakukan secara sedikit demi sedikit, yang merupakan bagian dari taktik dalam rangkaian menyukseskan syiar Islam di bumi Arab.
2. Nabi Muhammad saw bukan saja sebagai pembawa risalah agama, tapi juga sekaligus sebagai seorang pemimpin pemerintahan yang cakap dalam mengurus pelaksanaan pemerintahannya itu dan menjadikannya sebagai seorang manusia yang mempunyai kehebatan karir yang tak tertandingi sepanjang sejarah umat manusia.
Ali, K. (Tarikh Pramodern) Sejarah Islam, Edisi I. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Amin, Husain Ahmad. al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Departemen Agama RI, Alqur'an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Bumi Restu, 1980.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1985.
Rasyidi, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Armico, 1987.
Shaban, M.A. Sejarah Islam (600–750), Edisi I. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Al-Sibaiy, Mushthafa. Al-Sirat al-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar. Cairo: Dar el-Tawzi wa Al-Nasyr, 1988.
Team Penyusun Textbook, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jilid I. Ujungpandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1982.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Edisi I. Cet. X; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
[1]Departemen Agama RI., Quran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 1271.
[2]Mushthafa al-Sibaiy, Al-Sirat al-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar. (Cairo: Dar el-Tawzi wa Al-Nasyr, 1988), h.24
[3]Lihat Husain Ahmad Amin al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 5.
[4]Ulil Abshar Abdallah, Muhammad; Nabi dan Politikus. JIL, Edisi tanggal 4 – 5 – 2004.
[5]Departemen Agama RI, Alqur'an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1980), h. 992.
[6]K. Ali, (Tarikh Pramodern) Sejarah Islam, Edisi I (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 32
[7]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Edisi I (Cet. X; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 22.
[9]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 160.
[10]Lihat ibid., h. 169.
[11]M. A. Shaban, Sejarah Islam (600–750), Edisi I (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 12.
[12]Lihat K. Ali, op. cit., h. 37.
[13]Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, diterjemahkan oleh Hanif Yahya, Lc., et.al., dengan judul Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir (Cet. I; Jakarta: PT. Megatama Sofwa Pressindo, 2004), h. 189.
[14]Lihat Muhammad Husain Haekal, op. cit., h. 189.
[15]Lihat Badri Yatim, op. cit., h. 25.
[16]Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), h. 25.
[17]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1985), h. 101.
[18]Lihat Team Penyusun Textbook, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Ujungpandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1982), h. 34.
[19]Lihat Badri Yatim, op. cit., h. 303.
[20]Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Armico, 1987), h. 21.
[21]Lihat Badri Yatim, op. cit., h. 30.
[22]Lihat K. Ali, op. cit., h. 69.
[23]Lihat Hassan Ibrahim Hassan, op. cit., h. 33.
[24]K. Ali, loc. cit.
0 Komentar