I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam yaitu agama yang oleh umatnya diyakini mengandung seperangkat nilai dasar untuk menuntun kehidupan insan guna mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di darul baka. Sebagai pemikiran agama yang utuh dan lengkap, Islam tidak sekedar memberi atensi terhadap satu dimensi kehidupan, katakanlah jasmani semata tapi juga menekankan aspek rohani.
Keduanya harus berada pada suatu keseimbangan. Islam senantiasa memberi tempat bagi penghayatan keagamaan yang bersifat eksoteris (zhahir, lahiriyah) maupun esoterik (bathini) sekaligus, dengan tetap berpijak pada orbit keseimbangan. Artinya perilaku ekstrimitas terhadap salah satu aspek semata bisa menjadikan kepincangan dan menyalahi prinsip keseimbangan dimaksud.
Kendati demikian, pada kenyataannya prilaku penghayatan keagamaan umat Islam terbagi dua kelompok, yang satu menitikberatkan penghayatan keagamaan pada ketentuan-ketentuan luar (al-Ahkam al-Zhawahir, ialah segi-segi lahiriah) dan satu kelompok lain, lebih menitikberatkan pada ketentuan "dalam" atau segi batiniyah, kelompok terakhir inilah yang kemudian dikenal sebagai hebat tareqah atau jago tasawuf.
Kata “tasawuf” memang tidak ada dalam Alquran, namun substansi dan semangatnya jelas terkandung di dalamnya. Tasawuf adalah pedoman dan doktrin bahwa manusia senantiasa ingin meraih kesucian diri dan hamba untuk berdekatan dengan Dia Yang Mahasuci. Untuk mampu berdialog dengan Yang Mahasuci, maka insan lebih dulu harus menyucikan diri, mulai dari penyucian hati, pikiran, tutur kata dan sikap serta harta. Sufi besar, Sirri al-Siqti menyampaikan, seorang sufi yaitu orang yang hatinya tidak tercemari oleh selain Yang Mahasuci, dan hidupnya diarahkan demi menggapai ridha dan qudrat Ilahi.
Ajaran sosial tasawuf mampu membimbing setiap individu dalam membentuk perilaku yang berperadaban, baik terhadap diri sendiri, kelompok (masyarakat) maupun bernegara. Sesuai dengan pola aturan kemasyarakatan yaitu tidak saling memakan, saling menjegal antara sesama insan, atau berdasarkan istilah Hobbes sebagaimana yang dikutip Harifuddin Cawidu ialah homo homini lupus, dan krisis global yang paling dirasakan sebagai ancaman terbesar insan yaitu krisis lingkungan yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri. Menyusul kemudian krisis ekonomi, sosial politik, teknologi, adab agama, keluarga, bahkan khusus kemanusiaan secara keseluruhan.
Ajaran Islam mencakup banyak sekali aspek kehidupan insan, alasannya adalah Islam merupakan fatwa iman dan syariat. Kalau akidah mengenai iktikad dan kepercayaan, maka syariat mengenai selainnya. Syariat dalam artian ini meliputi ibadah danan muamalat (kehidupan) dan etika. Makara, agama Islam bukanlah agama ruhani dan aqidah saja, akan tetapi Islam yaitu agama yang juga menyangkut problem berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ideologi kehidupan dan konstitusi sosial.
Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial yakni satu berbanding seratus. Untuk satu ayat ibadah seratus ayat muamalah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mu’minun (23): 1 – 9.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.”
Ayat tersebut menjelaskan kriteria orang beriman yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya (ibadah), menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (mu’amalah), menjaga amanah dan janjinya (mu’amalah), dan memelihara shalatnya (ibadah). Dari sekian tanda orang yang beriman, hanya dua yang menyangkut ‘ubudiyah, adalah shalat dan zakat, selebihnya menyangkut masalah kehidupan sosial.
Kajian dalam makalah ini akan berupaya mendeskripsikan sejarah perkembangan ajaran tasawuf, sebagai salah satu khazanah intelektual Islam yang mempunyai implikasi besar khususnya dalam pelatihan budpekerti, baik adat kepada Allah maupun kepada sesama makhluk di periode modern ketika ini.
B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi yang dikemukakan pada latar belakang di atas, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf?
2. Bagaimana latar belakang lahirnya tasawuf?
3. Bagaimana sejarah perkembangan pemikiran tasawuf?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisisme yang dalam bahasa Inggris disebut sufisme. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai suatu istilah sekitar akhir abad kedua hijriah yang dikaitkan dari pada salah satu jenis pakaian agresif yang disebut shuff atau wool berangasan. Kain sejenis itu hingga digemari oleh para zahid, sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada periode itu. Menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff, tampaknya cukup beralasan yaitu antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool bernafsu juga sudah merupakan karakteristik kehidupan orang saleh sebelum datangnya Islam, sehingga mereka dikatakan dengan sufi atau orang-orang yang menggunakan shuff.
Sementara tasawuf diberikan legitimasi terhadap orang yang hidup pada kala nabi sebagai andal shuffah, di mana mereka itu selalu berkumpul di serambi masjid nabi (hebat shuffah). Cara hidup saleh dalam kesederhanaan yang dipaparkan oleh kelompok itu, kemudian menjadi teladan panutan bagi sebagian umat Islam yang kemudian disebut sufi.dan ajarannya dinamai tasawuf. Ada pula yang beropini bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa Yunani, adalah sophos yang berarti pesan tersirat dan keutamaan. Menurut pendapat ini, para sufi adalah pencari hikmah atau ilmu hakikat pendapat lain memperkirakan kata sufi berasal dari shafa atau shafwun yang berarti bening alasannya hati sufi yang selalu bening sementara lainnya mengatakan, kata sufi berasal dari shaff atau barisan karena para sufi selalu berada pada barisan terdepan dalam mencari keridhaan Ilahi.
Dari serangkaian defenisi yang ditawarkan para ahli ada satu asas yang disepakati terkait dengan pemikiran tasawuf, ialah tasawuf yakni moralitas yang berasaskan Islam. Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna budpekerti dan semangat Islam, alasannya adalah seluruh aliran Islam dari banyak sekali aspeknya yaitu prinsip susila.
B. Latar Belakang Lahirnya Tasawuf
Ada beberapa versi terhadap lahirnya tasawuf. Asumsi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, yakni pendapat yang menyampaikan bahwa tasawuf itu bersumber dari anutan di luar Islam yang masuk ke dalam ajaran Islam. Para orientalis beropini bahwa tasawuf berasal dari alam pikiran India di antaranya M. Hortan dan R. Hartman, dengan mengemukakan alasannya:
1. Kebanyakan angkatan pertama para sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya, Ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Bustami dan Yahya ibn Maaz al-Razi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya yakni di khurazhan.
3. Pada kala sebelum Islam, Turkistan merupakan sentra pertama banyak sekali agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan dikala para penduduk itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya dampak India tersebut.
5. Islam yang pertama adalah corak India baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya, keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India.
Plotinus, sebagai tokoh fatwa filsafat sebagai pemikiran filsafat Neo Platonisme, dikenal sebagai pembawa filsafat emanasi yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya tetapi dengan masuknya ke alam bahan roh menjadi kotor dan untuk mampu kembali ketempat asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan. Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, jika mampu bersatu dengan Tuhan.
Dikatakan pula bahwa filsafat ini memiliki imbas terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam. al-Taftazani mengatakan'" cukup banyak orientalis yang beropini bahwa tasawuf berasal dari tradisi pedoman Yunani. Para orientalis ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang ditimba dari sumber Yunani yakni tasawuf falsafi (teosofis), suatu jenis tasawuf yang mulai muncul pada masa ke tiga hijriyah lewat Zu al-Nun al-Misri yang berasal dari Mesir yang dikenal sebagai filosof dan hebat kimia sekaligus pengikut sains Hellenistik.
Dari analisa sejarah mampu diketahui, adanya akulturasi kebudayaan Islam dan Yunani terutama dalam gerakan filsafat yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam. Pada dikala dinasti Umayyah dan puncak perkembangannya, pada periode dinasti Abbasiyah, lewat penerjemahan buku-buku Yunani dalam aneka macam disiplin ilmu termasuk filsafat kedalam bahasa Arab. Metode berpikir orang Yunani ini mensugesti cara berpikir sebagian orang Islam yang ingin bekerjasama dengan Tuhan. Kalau dulu aliran tasawuf baru bersifat adab, amaliyah, maka dengan imbas filsafat Yunani ini, uraian-uraiannya berubah menjadi bersifat falsafah. Hal ini mampu dilihat dari pikiran para filosof seperti al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina terutama urusan mereka tentang filsafat jiwa.
Sedangkan R.A. Nicholson berkata bahwa terperinci kecenderungan-kecenderungan asketisisme dan kontemplasi bersesuaian dengan ilham Nasrani banyak yang mampu dijadikan sebagai rujukan yakni, banyak teks Alkitab dan ungkapan-ungkapan yang diatributkan sebagai ucapan al-Masih yang terukir dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali muncul para biarawan Nasrani dalam kedudukannya sebagai guru yang menasehati dan memberi isyarat pada asketis muslim. Kita pun mampu melihat bagaimana baju bulu domba ini berasal dari umat Nasrani nazar untuk tidak berbicara, zikir dan latihan-latihan rohaniah lainnya mungkin berasal dari sumber yang sama juga.
Pengaruh dari ajaran Kristen tersebut dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri di dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat goresan pena-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia, lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi daerah memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, sebagian orientalis beropini bahwa tasawuf berasal dari Persia, Thoulk, misalnya seorang orientalis era ke-19, menganggap bahwa tasawuf bersumber dari Majusi dengan argumen bahwa orang-orang Majusi di Iran Utara sesudah penaklukan Islam, tetap memeluk agama mereka dan ada beberapa tokoh sufi yang berasal dari sebelah utara daerah Khurasan. Di samping sebagian ajaran-aliran tasawuf angkatan pertama berasal dari kelompok orang-orang Majusi.
Meskipun terdapat kemiripan di antara bentuk asketisisme atau tasawuf Islam dengan asketisisme atau mistisisme Nasrani, akan tetapi hal tersebut tidak cukup untuk dijadikan bukti bahwa tasawuf Islam berasal dari sumber Nasrani. Memang, orang Arab sangat dekat dengan cara hidup orang Nasrani karena ini berpengaruh pada cara-cara mereka menjalani latihan (riyadah) dan ibadah. Goldziher menganalisir perihal pakaian wool garang (suff) bersumber pada anutan Katolik yang kebanyakan dipakai oleh para zahid/sufi yakni pakaian agama Nasrani, sehingga tasawuf lebih identik dengan kenasranian pada zaman jahiliah.
Selain itu perlu pula dikemukakan bahwa tasawuf berasal dari Persia sebab sebagian tokohnya berasal dari Persia mirip: Ma’ruf al-Karakhi dan Abu Yazid al-Bustami. Di samping tokoh sufi juga memiliki filosof yang kuat dan pujangga-pujangga Persia lebih kaya daripada pujangga-pujangga Arab dalam hal memahamkan Islam, sebab mereka dapat menguasai dua bahasa, Arab dan Persia.
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam nampaknya tasawuf yang menimbulkan ketegangan dalam dunia aliran Islam tampaknya asal muasal tasawuf merupakan duduk perkara yang sangat kompleks sebab banyak argumen yang memperlihatkan tipologi kesamaan terhadap pendapatnya. Sehingga hampir tidak diberikan tanggapan yang dapat memuaskan semua pihak. Mereka menyampaikan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam ialah, Persia, Hindu, Katolik, filsafat Yunani atau dari sumber lainnya.
Pendapat yang demikian nampaknya tidak objektif alasannya dasar pedoman tasawuf sudah ada semenjak datangnya agama Islam, hal ini mampu diketahui dari kehidupan nabi Muhammad saw cara hidupnya yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sobat. Selama abad Makkiyah kesadaran spiritual Rasulullah saw adalah menurut dari pengalaman-pengalaman mistik jelas dan niscaya.
Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu persoalan prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran sebagai landasan utama alasannya manusia-insan memiliki sifat baik dan sifat jahat. Meskipun nama tasawuf baru digunakan setelah dua atau tiga generasi Islam, dalam kenyataan beliau telah ada sejak generasi pertama, dan salah satu akarnya mampu ditemui pada praktek-praktek spiritual di periode sebelum Islam yang dikenal dengan Hunafa tersebar di tanah Arab, dan berkat praktek itu dia sudah mengemban risalah Islamiah, menjadi wakil dari praktek mistisisme peninggalan leluhurnya, ialah Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam salah satu penyendiriannya di sebuah gua Hira di pinggir kota Mekah, ketika berusia sekitar empat puluh tahun, Rasulullah mendapatkan wahyu Alquran yang pertama .
Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajarannya pada Quran dan as-Sunnah khususnya dalam soal-soal iman, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini menerima atau barangkali lebih sempurna memasukkan unsur-unsur asing dari luar. Hal ini terjadi sebab adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri. Unsur ajaib yang banyak disebut sangat mensugesti dunia sufisme yaitu Neoplatonisme, Gnotisisme, Moohisme, faham inkarnasi dan bahkan animisme, Panteisme dan Politeisme. Keberadaan unsur-unsur abnormal dalam tasawuf ini menciptakan para orientalis dalam membahas ihwal tasawuf sering mengesankan ketidakaslian sufisme berasal dari Islam.
C. Sejarah Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Secara historis, term tasawuf dikenal secara luas di daerah Islam pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase pertama perkembangan tasawuf tersebut, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Aktualisasi prima dari sikap zuhud tersebut ,mengabaikan kenikmatan dunia. Fase ini disebut sebagai asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, Mereka lebih banyak berinfak untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan darul baka yang mengakibatkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Diantara mereka adalah Hasan al- Basri (meninggal 110 H.) dan Rabiah al-Adawiyah.
Tasawuf pada kurun III dan IV hijriyah disebut dengan kurun pengembangan disebabkan tasawuf sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf pada kala sebelumnya. Pada periode ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khaliq, orang sudah ramai membahas wacana lenyap dalam kecintaan (fana fi' al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu denganNya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya. Menurut sebagian sufi makrifat Allah adalah tujuan selesai dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini. Kondisi yang demikian mampu dicapai hanya setelah menyayangi (al-hub) Allah dengan segenap ekspresinya. Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian maka gerakan ini mampu dikatakan sebagai gerakan gnostisisme (ilmu ladunni al-ma’rifat) atau barangkali dapat disejajarkan dengan manipulationist dalam filsafat.
Sejak munculnya iktikad fana dan ittihad, terjadi suatu pergeseran gerakan ritual sufi yang bertujuan untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya ke tingkat penyatuan dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma bahwa insan secara biologis ialah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke alam Ilahiyat. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul dikala mendapatkan wahyu yang pertama. Berbarengan dengan itu terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia aliran Islam baik intern sufisme maupun dengan teologi dan fiqih. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat.
Karakteristik dari fase ke II tasawuf ini, tampak dengan adanya akulturasi di luar Islam, ciri lain yang penting pada fase ini yaitu timbulnya ketegangan antara kaum ortodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad dipihak lain salah satu di antara sufi pada fase kedua yaitu Abu Yazid, Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid mendapat julukan sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia yang memasukkan wangsit wahda al-wujud sebagai anutan asli dari timur sebagai theosofi merupakan kekhususan fatwa Yunani. Setelah Abu Yazid al-Bustami, muncul generasi gres dari sufi Persia adalah Abu al-Muqlis al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-Badawi atau al-Hallaj.
Menurut al-Hallaj, insan mempunyai dua sifat, ialah sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ke Tuhanan (lahut) sesuai dengan Q.S. Shaad (38):72. Hal lain dari pengaruh tasawuf pada abad III hijriyah yakni orang-orang berusaha mempertajam pemikirannya terhadap kesatuan penyaksian (wahdat al- syuhud), kesatuan wujud (wahdat al-wujud) kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan), berafiliasi dengan Tuhan (ittisal) keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal) manusia tepat (insan kamil) yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan.
Bertolak dari uraian di atas dapat dipahami, tasawuf pada kurun III dan IV hijriyah sudah sedemikian berkembang sehingga sudah merupakan mazhab bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Lebih jauh Abu al- Wafa menegaskan bahwa tasawuf pada periode III dan IV hijriyah lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan kepada budbahasa serta tingkah laku. Sementara kecenderungan metafisis yang muncul tidak secara terperinci. Meskipun terdapat ungkapan wacana kefanaan dan penyaksian serta adanya ungkapan “syathahiyat."
Meskipun demikian pada masa III dan IV hijriyah juga diakui adanya dua ajaran tasawuf adalah tasawuf sunni ialah tasawuf yang dibingkai dalil al-Alquran dan hadis sebagai tumpuan serta mengaitkan kasatmata (keadaan) dan magamat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut, kedua anutan tasawuf “non sunni” dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan “ganjil“ serta bertolak kepada keadaan fana’ menuju pernyataan perihal terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul)
Selanjutnya fase ke IV, secara paradigmatik gerakan tasawuf pada fase ke IV, mendapat kendala dari tasawuf sunni, maka pada IV Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang mencari format baru, dengan bercampurnya tasawuf dengan anutan filsafat, kompromi dalam pemakaian terma filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak mampu dikatakan sebagai filsafat sebuah paradigma baru dari tasawuf tersebut yakni tasawuf falsafi, alasannya adalah disatu pihak menggunakan term filsafat, namun secara epistimologis menggunakan dzauq, intuisi/ wujdan (rasa).
Untuk memahami ajaran tasawuf pada abad IV Hijriyah ini, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi memiliki empat obyek:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta instropeksi yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam mistik
3. Peristiwa-insiden dalam alam maupun kosmos besar lengan berkuasa terhadap aneka macam bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat).
Adapun metode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya baik mengenai maqamat, ahwal, riyadah, mujahadah, zikir, mematikan kekuatan syahwat maupun yang lainnya.Tokoh-tokohnya yaitu Ibnu Araby dengan teori wahdat al-wujud, Suhrawardi al-maqtul( yang terbunuh )dengan teori Isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabi'in dengan teori ittihad, ibnu Faridh dengan teori cinta, fana dan wahdat al-syuhudnya.
A.J. Arberry menyatakan, bahwa abad ibnu Araby, Ibnu Faridh, dan al-Rumy yakni abad keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis ataupun simpel. Pengaruh dan praktek-praktek tasawuf semakin tersebar luas melalui thariqah-thariqah dan para sultan serta pangeran tak segan-segan pula mengeluarkan pinjaman dan kesetiaan langsung mereka, pola paling menonjol adalah figur terhormat Dharma Syekh, putra kaisar Mogul, Syekh Johan yang menulis sejumlah kitab, diantaranya al-Majma al-Bahrain, didalamnya dia mencoba merujukkan teori tasawuf Vedenta.
Pada era ini, terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan skandal melanda. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali sebagaimana diungkapkan A.J. Arberry tadi, bahwa tasawuf pada waktu itu, ditandai bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum budbahasa dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan menghindarkan diri dari rasionalitas dengan menampilkan amalan yang irrasional, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan.
Melihat fenomena ini, muncullah Ibnu Taimiyah dengan keras menyerang penyelewemgan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan aliran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber pemikiran Islam, Quran dan al-Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, mirip akidah kepada wali, khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibnu Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) yakni orang yang berprilaku baik, konsisten dengan Syariah Islamiyah sebutan yang tepat diberikan kepada orang tersebut yakni muttaqin.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap aliran ittihad, hulul dan wahdat al-wujud sebagai anutan yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari orang-orang yang terkenal bakir (orang yang telah mencapai tingkatan ma'rifat), andal tahqiq (hebat hakikat) dan hebat tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari verbal orang Yahudi dan Kristen. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama dengan menyatakan kufur.
Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah saw, adalah menghayati aliran Islam, tanpa mengikuti fatwa tariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam acara sosial sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf ini sangat kondisional untuk dikembangkan di kurun modern seperti sekarang
III. PENUTUP
Dari deskripsi yang dipaparkan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa poin penting sebagai kesimpulan, adalah:
1. Terdapat satu asas yang disepakati terkait dengan anutan tasawuf, yakni tasawuf yakni moralitas yang berasaskan Islam. Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya, tasawuf bermakna akhlak dan semangat Islam alasannya seluruh ajaran Islam dari aneka macam aspeknya yaitu prinsip etika.
2. Terdapat perbedaan pendapat tentang latar belakang lahirnya tasawuf. Ada yang menyatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam ialah, Persia, Hindu, Nasrani, filsafat Yunani atau dari sumber lainnya. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini mampu diketahui dari kehidupan nabi Muhammad saw cara hidupnya yang lalu diteladani dan diteruskan oleh para teman. Selama kala Makkiyah kesadaran spiritual Rasulullah saw ialah menurut dari pengalaman-pengalaman mistik terperinci dan pasti.
3. Term tasawuf dikenal secara luas di tempat Islam pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase pertama perkembangan tasawuf, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Tasawuf pada periode III dan IV hijriyah sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khaliq, orang sudah ramai membahas perihal lenyap dalam kecintaan (fana fi' al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu denganNya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya. Sementara itu, Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti anutan tariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam acara sosial sebagaimana manusia pada umumnya sehingga ajarannya selalu selaras dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar. Sejarah Filsafat Islam. Cet. IV; Bandung: Ramadani, 1991.
Al-Alawi, Syaikh Ahmad. Sufi of The Twentieeh Century, diterjemahkan Abdul Hadi, Wali Sufi Abad 20. Cet. IV; Bandung: 1994.
Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa. Cet. III; Bandung: Rosdakarya, 1987.
AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo, 1994
Cawidu, Harifuddin. Sufisme dan Fenomena Spritualitas Masyarakat Industri : Suatu Telaah Terhadap Trend Religiusitas di Akhir Abad ke 20, dalam Uswah No 7 Tahun IV / 1995.
___________. Urgensi dan Peranan Agama dalam Menghadapi Situasi Krisis: Perspektif Theologis dan Sufistik. Uswah Edisi 12, 1998.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Djaelani, Abdul Kadir. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press , 1996.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hasmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Nicholson, R. A. The Mistic of Islam, diterjemahkan dengan judul, Mistisisme Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedia Islam di Indonesia. Jakarta: Anda Utami, 1992.
Rahman, Jalaluddin. Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer. Cet. I; Ujungpandang: Umi Toha Ukhuwah Grafika, 1997.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Cet. IX; Bandung: Mizan, 1998.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf dan Revitalisasi Masyarakat. Malang, t.p., t.th.
Siregar, H. A. Rivai. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Subhy, Ahmad Mahmud. al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam. Kairo; Dar' al- Ma'rif 1992.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Madkhal Ila al- Tashawuf al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Ustmani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Cet. IV; Bandung: Pustaka, 1989.
Al-Wakil, Sayyid. Lamhatun min Tarikhid Da'wati Asbabudh dha'fi fil-Ummatil Islamiyyah diterjemahkan Fadhli Bahri dengan judul, Wajah Dunia Islam: Dari Dinasty Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
[1]Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 91.
[2]Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 91.
[3]Said Aqil Siradj, Tasawuf dan Revitalisasi Masyarakat (Malang, t.p., t.th.), h. 1.
[4]Harifuddin Cawidu, Sufisme dan Fenomena Spritualitas Masyarakat Industri : Suatu Telaah Terhadap Trend Religiusitas di Akhir Abad ke 20, dalam Uswah No 7 Tahun IV / 1995), h. 8; Harifuddin Cawidu, Urgensi dan Peranan Agama dalam Menghadapi Situasi Krisis: Perspektif Theologis dan Sufistik (Uswah Edisi 12, 1998), h. 11.
[5]Harifuddin Cawidu, Sufisme dan Fenomena Spritualitas Masyarakat Industri : Suatu Telaah Terhadap Trend Religiusitas di Akhir Abad ke 20, h. 8.
[6]Jalaluddin Rahman, Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Cet. I; Ujungpandang: Umi Toha Ukhuwah Grafika, 1997), h. 2-3.
[7]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif (Cet. IX; Bandung: Mizan, 1998), h. 48.
[8]Departemen Agama RI., Quran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 582.
[9]H. A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Cet. I; Jakarta: Raja Grafinndo Persada, 1999), h. 31. Bandingkan dengan R. A. Nicholson, The Mistic of Islam, diterjemahkan dengan judul, Mistisisme Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 4-5.
[10]H. A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, h. 32.
[11]H. A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, h. 34.
[12]H. A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, h. 33.
[13]Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press , 1996), h.10
[14]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 182
[15]Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo,1994), h. 182
[16]A. Hasmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 236-265.
[17]Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf, h.184
[18]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 67. Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam (Cet. IV; Bandung: Ramadani, 1991), h. 47.
[19]Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, h. 18.
[20]Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, h. 18.
[21]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 58.
[22]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h.192
[23]Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Cet. III; Bandung: Rosdakarya, 1987), h. 142-143.
[24]Sayyid al-Wakil Lamhatun min Tarikhid Da'wati Asbabudh dha'fi fil-Ummatil Islamiyyah diterjemahkan Fadhli Bahri, Wajah Dunia Islam: Dari Dinasty Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 45-47.
[25]Syaikh Ahmad al-Alawi, Sufi of The Twentieeh Century, diterjemahkan Abdul Hadi, Wali Sufi Abad 20 (Cet. IV; Bandung: 1994), h. 32.
[26]Ahmad Mahmud Subhy, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam (Kairo; Dar' al- Ma'rif 1992), h. 80-81, R.A. Nicholson, The Mystics of Islam, h. 11-12.
[27]Abu al-Wafa al-Ghanimi al- Taftazani, Madkhal Ila al- Tashawuf al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Ustmani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Cet. IV; Bandung: Pustaaka, 1989), h. 16.
[28]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21 (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 30.
[29]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 31.
[30]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 31.
[31]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 82.
[32]Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 102.
[33]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 33.
[34]Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Anda Utami, 1992), h. 339.
[35]Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedia Islam di Indonesia, h. 339.
[36]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 40.
[37]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 41.
[38]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 41.
[39]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, h. 41.
0 Komentar