Jasaview.id

Profesor Yang Digaji Untuk Mengajar Muslim Jerman Justru Menelurkan Kegoncangan

PROFESOR YANG DIGAJI UNTUK MENGAJAR MUSLIM JERMAN 
JUSTRU MENELURKAN KEGONCANGAN


Riset dari Muhammad Sven Kalisch, seorang Muslim mualaf dan Profesor Jerman pertama yang mengajar theologia islam, mengakibatkan kegemparan di antara para muslim. Teorinya : Nabi Muhammad mungkin tidak pernah ada.
Oleh : Andrew Higgins


MÃœNSTER, Jerman -- Muhammad Sven Kalisch, seorang mualaf dan Profesor Jerman pertama yang mengajar Theologia Islam, berpuasa pada waktu bulan Ramadhan, tidak mau berjabat tangan dengan wanita muslim lainnya, dan telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari kitab suci Islam. Islam, katanya, membimbing hidupnya. Begitu mengejutkan ketika Prof. Kalisch mengumumkan hasil riset theologisnya. Kesimpulannya : Nabi Muhammad mungkin tidak pernah ada.



(Prof Muhammad Sven Kalisch : " Muhammad mungkin tak pernah ada
dan Tuhan tidak pernah menulis kitab-kitab agama")


Theologia Islam Tanpa Muhammad

"Kami tidak mengira beliau akan mempunyai idea seperti ini", kata Thomas Bauer, seorang rekanan akademisi di Universitas Münster yang duduk pada sebuah komite yang menunnjuk Prof Kalisch. "Pandangan saya tentang Islam lebih ortodox dari pada dia, sekalipun aku bukan seorang Muslim”.

Ketika Prof Kalisch mulai menjabat peran teologinya empat tahun kemudian, ia terlihat sebagai bukti bahwa kesarjanaan Barat modern dapat berbaur dengan cara-cara Islam - dan melawan dampak radikal para pengkhotbah di Jerman. Dia dimasukkan dalam penugasan sebuah acara gres di Münster, salah satu universitas Jerman tertua dan paling dihormati, melatih guru-guru di sekolah-sekolah negeri untuk mengajar siswa muslim perihal iktikad mereka.

Para pemimpin Muslim senang dan bergabung dengan dewan penasehat di Pusat Studi Agama. Para politisi memuji penunjukan Kalisch sebagai tanda kesiapan Jerman untuk menyerap sekitar tiga juta Muslim ke dalam masyarakat arus utama Jerman Tapi Andreas Pinkwart, seorang menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan tinggi di wilayah utara Jerman, menyampaikan, “kesannya memang mengecewakan”.

Prof Kalisch, yang menegaskan dirinya masih seorang muslim, mengatakan dia tahu beliau akan mendapat persoalan namun dia ingin Islam juga tunduk di bawah metoda analisa yang sama seperti pada Katolik dan Yudaisme. Ia mencatat bahwa sarjana-sarjana Jerman era ke-19 adalah orang-orang pertama yang memunculkan pertanyaan perihal keakuratan sejarah Al kitab.

Banyak sarjana Islam mempertanyakan akurasi dari sumber-sumber kuno ihwal kehidupan Muhammad. Biografi paling awal, yang mana tidak ada salinannya yang ada ketika ini, tertanggal sekitar satu era setelah tahun yang diterima secara umum sebagai tahun ajal Muhammad, yakni 632 M, dan hanya diketahui dari teks-teks acuan lain yang rentangnya jauh sesudah zaman itu. Namun hanya sedikit sarjana saja yang gres mewaspadai eksistensi Muhammad. Kebanyakan mengatakan bahwa hidup Muhammad didokumentasikan lebih baik daripada Yesus.

“Tentu saja Muhammad pernah hidup.” Sanggah Tilman Nagel, seorang sarjana di Göttingen dan penulis sebuah buku baru - Muhammad : Hidup dan Legendanya, “namun tentu saja beliau berbeda dengan sosok sempurna karangan Tradisi Islam” Prof Nagel menambahkan, “tetapi cukup mengejutkan untuk menyampaikan bahwa ribuan dan ribuan lagi halaman tentangnya semua adalah palsu" dan tidak pernah ada sosok tersebut.

Pada saat yang sama prof. Nagel telah menanda-tangani petisi untuk mendukung Prof. Kalisch, yang tengah menghadapi kritik yang luar biasa dari kelompok-kelompok muslim dan beberapa sarjana Jerman sekuler. “Kita tinggal di Eropa. Pendidikan harus didasari atas logika, bukan perasaan” tandasnya.

Pusat Studi Agama yang dipimpin oleh Prof Kalisch telah menghapus tanda namanya dan menghapus alamatya dari website. Sang profesor, seorang kekar yang masih berumur 42 tahun, mengatakan dia tidak menerima ancaman spesifik tetapi telah dikecam sebagai murtad dan penyerang besar dalam beberapa bacaan Islam. “Mungkin orang-orang sedang berspekulasi bahwa seorang idiot akan datang dan memenggal kepalaku” katanya dalam suatu wawancara.

Beberapa menit lalu, seorang tangan kanan tiba dengan panik, berkata bahwa sebuah jam digital yang mencurigakan baru saja ditemukan di lorong. Polisi lalu dipanggil ke tempat itu dan menyatakan bahwa jam itu tidak berbahaya.

Beralih ke Islam sejak umur 15 tahun, Prof Kalisch menyatakan ia dulu memeluk Islam alasannya adalah kelihatannya lebih rasional dari pada yang lain. Ia memeluk sebuah sekte dari Islam sy'iah yang sebab dikenal dengan skeptisismenya. Setelah bekerja sebagai pengacara untuk waktu yang singkat, beliau memulai thesis pasca-doktoralnya ditahun 2001 dalam problem aturan Islam di Hamburg untuk menjalani proses yang rumit menjadi seorang professor di Jerman.

Serangan 11 September di AS tahun mengejutkan Kalisch, tetapi tidak membuatnya menyangkal imannya. Justru, setelah dia tiba di Münster University di tahun 2004, dia mengejutkan beberapa orang yang menganggapnya sangat konservatif. Samo Alrabaa, seorang sarjana di sebuah perguruan tinggi terdekat, mengingat pernah menghadiri suatu kuliah yang dibawakan professor Kalisch dan kesal dengan pembelaan akidah aturan Islam yang disebut, Sharia.

Secara sendirian, ia bergerak ke arah yang berbeda. Dia menghabiskan waktu meriset, mempertanyakan eksistensi Abraham, Musa dan Yesus. Kemudian “Aku berkata pada diri sendiri : Kamu sudah berurusan dengan agama Nasrani dan Yudaisme tapi bagaimana dengan agamamu sendiri ? Apakah masih mendapatkan begitu saja bahwa Muhammad pernah ada?”

Dia tidak mempunyai keraguan pada awalnya, tapi perlahan-lahan keraguan itu muncul. Ia katakan bahwa ia kaget oleh kenyataan bahwa koin-koin pertama yang bertuliskan nama ‘Muhammad’ tidak muncul sampai periode ke-7 selesai, yakni enam dekade sehabis agama itu lahir.

Dia bertukar pikiran dengan beberapa sarjana di Saarbrücken yang dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong gagasan perihal ketidak-beradaan Muhammad. Mereka mengklaim bahwa "Muhammad" bukan nama seseorang tetapi sebuah gelar kehormatan, dan bahwa Islam sebetulnya diawali sebagai ajaran bid'ah Katolik.

Namun Prof Kalisch tidak menanggapi semua ini. Setelah berkontribusi untuk sebuah buku tentang Islam tahun lalu, dia menimbang abnormalitas-ketaknormalan yang ada dan masih mengatakan bahwa eksistensi Muhammad “masih lebih mungkin ada daripada tidak ada”. Namun menjelang awal tahun ini (2008) pemikirannya telah bergeser “Semakin saya membaca, sosok sejarah (Muhammad) pada akar dari seluruh hal ini menjadi lebih dan lebih mustahil” katanya.

Ia juga telah mewaspadai Qur'an. “Tuhan tidak pernah menulis kitab-kitab,” kata Prof. Kalisch. Sebagian muridnya mengingatkan akan pergantian arah pengajarannya. “Saya bahkan mulai berpikir kalau suatu saat dia sendiri yang tidak akan ada di bumi ini” kata salah satu muridnya. Beberapa memboykot kelas kuliahnya. Yang lain memuji keberanian dan kekritisannya.

Prof Kalisch menyampaikan, “ia tidak pernah mengajarkan siswanya untuk hanya percaya apa yang Kalisch katakan” tapi berusaha untuk mengajari mereka untuk berpikir sendiri. Agama, katanya, yakni “tongkat” yang membantu orang percaya untuk menerima “kebenaran spiritual di belakang dongeng-kisahnya”. Baginya, yang penting yakni bukan apakah Muhammad benar-benar hidup tetapi filsafat yang disajikan dalam namanya.

Musim panas ini, perselisihan itu menjadi isu utama. Sebuah surat kabar Jerman berbahasa Turki melaporkannya dengan penuh semangat. Media di dunia Muslim mengangkat topik ini. Dewan Koordinasi Muslim Jerman mengundurkan diri dari dewan penasehat di pusat studi Prof. Kalisch. Koordinasi menarik diri dari dewan penasehat sentra Prof Kalisch. Beberapa anggota Dewan menolak menyapanya dengan nama adopsi Muslim, Muhammad, sebab menganggap dia cukup dipanggil ‘Sven’ saja.

Para akademisi Jerman terbagi dua. Michael Marx, seorang sarjana Al Qur'an di Akademi Berlin-Brandenburg of Sciences, memperingatkan bahwa pandangan Prof Kalisch itu akan mendiskreditkan kesarjanaan Jerman dan menciptakan sulit bagi para sarjana Jerman untuk bekerja di negara Muslim. Tapi Ursula Spuler-Stegemann, seorang sarjana studi Islam di Universitas Marburg, membuat situs Web yang disebut solidaritymuhammadkalisch.com dan mulai meminta pertolongan lewat sebuah petisi online.

( Ini alamatnya: http://www.solidaritymuhammadkalisch.com/)

Dikhawatirkan jika upaya perintisan penjangkauan muslim hanya akan memicu antagonisme, Universitas Münster memutuskan untuk memadamkan api. Prof Kalisch diberitahu bahwa beliau masih bisa memegang jabatan profesor tetapi harus berhenti mengajar Islam untuk guru agama di periode depan.

Sang profesor menyampaikan bahwa beliau lebih yakin dari sebelumnya untuk tetap menggali imannya. Dia sedang menuntaskan sebuah buku untuk menjelaskan pikirannya. Ini akan diterbitkan dalam Bahasa Inggris bukan Bahasa Jerman alasannya adalah ia ingin menciptakan efek yang lebih besar. “Saya yakin bahwa apa yang aku lakukan yaitu diharapkan. Harus ada diskusi bebas wacana Islam” katanya.

—Almut Schoenfeld, Berlin, berkontribusi untuk artikel ini.


Sumber : http://www.foundationforpluralism.com/WorldMuslimCongress/Articles/Should-Muslims-Play-the-Game-The-Wall-Street-Journal.asp

Posting Komentar

0 Komentar