I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan dilema filsafat, baik filsafat pendidikan, filsafat Islam maupun lainnya, berarti juga harus berbicara wacana filsafat Yunani. Hal ini sebab tidak dapat diingkari bahwa filsafat pendidikan, filsafat Islam dan filsafat lainnya, terpengaruh pada filsafat Yunani. Karena itu K. Bertens mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Dari alasannya adalah itu bekerjsama tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada studi mengenai pertumbuhan aliran filsafat di negeri Yunani.
Sebelum Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. bersentuhan dengan kebudayaan luar Islam, sebenarnya kehidupan bangsa-bangsa di aneka macam pecahan dunia berada dalam imbas peradabannya masing-masing. Kehidupan sosial dan beragama yang mereka jalankan ialah buah akidah terhadap ajaran ketauhidan (Monotheis) yang disampaikan oleh rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Perkembangan selanjutnya, ajaran ketuhanan yang monotheis itu mengalami bias menuju politheis alasannya adalah rentang waktu yang cukup panjang antara kehadiran satu rasul dengan rasul berikutnya.. Seperti jarak kehadiran Nabi Isa as yang cukup panjang dengan jarak diutusnya Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. yang berakibat memudarnya konsep tauhid bergeser ke dalam paradigma ketuhanan Trinitas. Di sisi lain, pergeseran paradigma ketuhanan dalam alam pikiran dan iman manusia disebabkan oleh kecerdasan berpikir manusia yang progressif demi menjawab tantangan kebutuhan zamannya. Apalagi, kecerdasan berpikir yang ditandai dengan kebebasan nalar tidak mempunyai rujukan di luar dirinya, sehingga logika bergerak bebas tanpa kendali yang menggiring kepercayaan manusia ke wilayah kebenaran subyektif dan apriori.
Dalam tinjauan sejarah peradaban manusia, peradaban Yunani menjadi penggagas dalam eksplorasi kemampuan nalar manusia untuk mencapai kebenaran. Peradaban Yunani dikenal melalui pedoman para filosofnya mirip paham Idealisme yang dikemukakan Plato, paham realisme yang diajarkan Aristoteles dan seterusnya. Pendekatan yang mereka gunakan pun mengalami fluaktuasi seiring dengan dinamika berpikirnya dari paradigma filsafat alam (naturalis) menuju materialis, kemudian kembali lagi ke naturalis, atau dari serba ruh menuju serba bahan dan kembali lagi ke serba ruh.[2] Pendayagunaan logika dengan pendekatan berbagai paradigma anutan filsafat yang berkembang di zaman itu, mendorong masyarakat Yunani untuk mengetahui lebih jauh tentang insan dan alam di sekitarnya sehingga bermunculanlah aneka macam teori-teori aturan alam seperti teori geosentris, heliosentris, ilmu perbintangan, dan ilmu ukur atau geometri. Karena itu, tidaklah heran apabila situs sejarah Yunani ditandai dengan peninggalan bangunan gedung atau rumah yang berarsitektur tinggi, dan mekanisme kehidupan masyarakat yang berjalan sistematis di atas hukum-aturan yang berlaku di zamannya.
Dengan demikian, sebelum Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw hadir di tengah-tengah umat manusia, bergotong-royong kehidupan manusia di belahan dunia tertentu memiliki peradaban yang tinggi dan kelak menjadi ilham dalam pembumian pemikiran Islam yang totalitas oleh rasul terakhir-Nya, Muhammad saw beserta para pengikut beliau. Walaupun di kala ke-21 ini, proses pembumian itu justru lebih banyak dicerminkan oleh peradaban umat non Islam.
Kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan ditandai dengan proses transformasi budaya negeri taklukan yang mewarisi peradaban Yunani ke dalam kehidupan umat Islam. Melalui tesa ini, maka penulis menguraikan lebih lanjut ke dalam pembahasan atas permasalahan-permasalahan sebagai berikut: kapan kontak pertama antara Islam dengan filsafat Yunani yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, bagaimana proses persentuhan Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, apa efek yang signifikan akibat dari persentuhan Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, dan mengapa Filsafat Yunani dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar ulama Islam Zaman Klasik.
Seperti dimaklumi bersama, bahwa sumber dasar yang pertama di kalangan kaum muslimin yakni Quran dan hadis saja. Kemudian menyusul ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti bahasa, tauhid, adab, fiqh dan lain-lain. Tetapi acara ini lebih memperoleh kemajuan dengan munculnya beberapa ulama yang berhasrat untuk memajukan ilmu kebudayaan, sehingga kaum muslimin muncul sebagai suatu golongan yang telah menawarkan pinjaman terhadap lapangan ilmiah seperti astronomi, kimia, tasawuf dan terutama filsafat, sehingga dari kajian ini sangat terpengaruh pula terhadap perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
Suatu pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang-layang di udara, setiap pedoman teoritis mempunyai relasi bersahabat dengan lingkungan di mana pemikiran itu dijalankan. Dalam hal ini lahirnya filsafat Yunani, alasannya adalah di Yunani ialah tepat persemaian di mana anutan ilmiah mulai bertumbuh. Dengan tumbuhnya ajaran ilmiah ini sehingga filsafat berusaha menganalisa dalam mempertemukan pandangan ajaran-ajaran yang ada pada pendidikan Islam. Sehingga pendidikan Islam dan filsafat intinya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai tugas yang sama yaitu membentuk langsung muslim yang sesuai dengan petunjuk atau pemikiran Islam.
Makara perkembangan filsafat dalam dunia Islam, tampak konkret setelah umat Islam (bangsa Arab muslim) pada periode itu berkomunikasi dengan dunia luar. Perkembangan filsafat tersebut dipercepat oleh kaum muslimin dengan adanya perjuangan penerjemahan berbagai macam ilmu pengetahuan, terutama filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya dalam Alquran ada beberapa ayat memerintahkan, mendorong serta membimbing umat Islam untuk menggunakan akal, berpikir, menggunakan ra’yu, mengadakan penyelidikan, penelitian dan sebagainya. Kesemuanya itu di samping mendorong untuk berfilsafat sekaligus juga memberikan bagaimanan cara atau metode berfilsafat serta bagaimana mengambil pelajaran dari padanya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan batasan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani?
2. Apakah penyebab filsafat Yunani diterima dalam ajaran Islam?
3. Bagaimana pandangan filosof Islam terhadap filsafat Yunani ?
II. PEMBAHASAN
A. Kontak Kaum Muslimin Dengan Filsafat Yunani
Kalau dilihat dari sejarahnya, terperinci bahwa filsafat jauh lebih dahulu timbulnya daripada agama Islam. Islam muncul di Gurun Pasir Arabiyah ialah di Mekah pada abad ke 6 M sedang filsafat terbit di Yunani sekitar kurun ke 5 SM atau jauh sebelumnya. Pertemuan Islam (kaum Muslimin) dengan filsafat ini terjadi pada era ke 8 M atau masa ke 2 Hijriyah, di saat umat Islam mengembangkan sayapnya dan menjangkau tempat-kawasan gres. Filsafat ialah salah satu dari kebudayaan abnormal yang ditemui Islam dalam perjalanan sejarahnya. Oleh sebab itu filsafat diambil alih oleh kaum muslimin dengan melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab sehingga pada dikala itu minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan begitu tinggi karena pemerintah yang menjadi penggerak serta pioner utamanya.
Kegiatan penterjemahan buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada mulanya dilakukan pada zaman Khalifah Amawiyah di Mamascus, sedang buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku yang ada kaitan pribadi dengan kehidupan simpel, seperti buku-buku kimia dan kedokteran. Olehnya itu setelah sentra kekuasaan berpindah ke tangan khalifah Abasiyah aktivitas penerjemahan menjadi semakin berkembang dengan pesat.
Sejak acara penerjemahan buku-buku filsafat Yunani je dalam Bahasa Arab semakin populerlah sebutan “Falsafah” di kalangan intelektual muslim, dan sejak itulah mulai aktivitas penganalisaan filsafat di kalangan kaum muslimin. Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan melalui tiga periode, adalah :
Periode pertama, yang terjadi pada kurun khalifah al-Mansur hingga penghujung masa khalifah Harun al-Rasyid (sekitar masa ke 8 M). Dalam priode ini termasyhur nama-nama penerjemah Ibnu al-Muqaffa, Jarjis bin Jabril, Yuhanna bin Masweh dan lain-lain. Ibnu al-Muqaffa penerjemah Kalilah Wa Dimna itu dikatakan orang bahwa dialah orang pertama yang menyalin nalar Aristoteles ke dalam bahasa Arab
Periode kedua, yang terjadi pada abad khalifah al-Makhmun bin Harun al-Rasyid (periode ke 8 M), dalam priode ini al-Makmun mendirikan sebuah Institut untuk para penerjemah, yang diberi nama “Baitul Hikmah” (The House of Wisdom) di Bagdad yang berusaha untuk menerjemahkan buku-buku Galen (Jalinus Ath-Thabib) ke dalam bahasa Arab baik dalam lapangan filsafat maupun kedokteran
Periode ketiga, yang merupakan priode terakhir zaman terjemahan besar-besaran dalan dunia Islam terjadi sekitar era ke 10 M. Dalam priode ini muncul penerjemah Abu Bisher Muttu bin Yunus al-Qannai (940 M), Yahya bin Adi al-Mantiq (974 M), Izhak bin Zura (1008 M), al-Hasan bin al-Khammar (942 M), murid Yahya bin Adi mereka ini melanjutkan usaha-usaha di kurun ke dua dengan menyalin dan memberi komentar perihal buku-buku akal dan matematika Aristoteles.
Pada era berikutnya, yaitu periode al-Makmun yang merupakan kejayaan Islam / keemasan bagi aktivitas penerjemahan. Al-Makmun dalam sejarah Islam dikenal sebagai Khalifah Bani Abbas yang besar perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat, dan ia mendirikan Bait al-Hikmah pada tahun 830 M, sedangkan buku-buku filsafat, metafisika, adat dan psikologi, sebab adanya penerjemahan buku-buku ini berkisar pada eksklusif al-Makmun dengan kegairahannya kepada ilmu pengetahuan.
Makara jikalau pada periode al-Makmun dikenal dengan kala kejayaan Islam/ keemasan maka tidak mampu dimungkiri bahwa penerjemahan tidak hanya berkisar pada filsafat saja, melainkan buku-buku filsafat lainnya, seperti : psikologi, etika, ketuhanan dan lain-lain sebagainya, dibanding pada periode al-Mansur, buku-buku filsafat yang diterjemahkan hanya buku, nalar.
Betapa penting dan dampak logika Yunani ke dalam dunia Islam dapat dilihat pada pertumbuhan teologi Islam hingga sekarang. Dalam catatan sejarah orang yang pertama menerjemahkan buku-buku nalar karangan Aristoteles yakni Ibnu Muqaffa, dia menerjemahkan atas perintah al-Mansur, sedang buku ini terdiri tiga buah yakni : Categoriae, De Interpretation, dan Analityca Priora.
Setelah abad al-Makmun berlaku sebagai abad kegemilangan penerjemahan, maka penerjemahan tidak banyak lagi dilakukan, terutama buku-buku filsafat. Karena penggantinya (Khalifah al-Mutawakkil) menekan kebebasan berpikir dan menindas orang-orang bekerja di lapangan filsafat. Dengan aksentuasi dan penindasan Khalifah al-Mutawakkil sehingga timbul atau muncul orang-orang yang bekerja dalam lapangan filsafat secara membisu-diam. Orang-orang tersebut dikenal dengan nama Ikhwan ash-Shafaa’. Mereka adalah suatu perkumpulan diam-diam yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan walaupun kadang kala seolah-olah organisasi ini bertendensi politik, sehingga ada orang yang beranggapan bahwa dia merupakan salah satu dari ormas kaum Syiah.
Walaupun Ikhwan ash Shafa’ pada umumnya sependapat dengan kaum Mu’tazilah dalam soal agama tapi mereka berbeda pendapat dalam berbagai hal yang penting, ialah : Mu’tazilah tidak percaya bahwa insan mampu melihat Allah, akan tetapi Ikhwanush-Shafa’ dengan tegas percaya bahwa dihari kiamat Allah akan menampakkan diri.
B. Sebab-sebab Filsafat Yunani Diterima dalam Pemikiran Islam
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani telah melahirkan pedoman rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi dijumpai perbedaan yang fundamental antara pemikiran rasional Yunani dan aliran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak di kenal agama Samawi, maka fatwa bebas, tanpa terikat pada pedoman-pemikiran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada Islam zaman klasik anutan rasional ulama terikat pada fatwa-pedoman agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Quran dan hadis.
Doktrinal aliran Islam yang mengikat atau membatasi aliran rasional ulama Islam zaman klasik mengakibatkan pertanyaan terhadap proses kontak antara Islam dan ilmu pengetahuan serta filsafat Yunani, yang dapat diterima oleh ulama Islam pada saat itu selama kurang lebih satu kala lamanya.[9] Padahal pedoman filsafat Yunani, tumbuh dan berkembang dalam situasi keagamaan nonsamawi, adalah kehidupan beragama yang berjalan menurut akidah dari buah pedoman semata. Mereka mengenal sejumlah nama ilahi yang menjadi Tuhan, tetapi pendewaan terhadap sesuatu diinspirasi dari hirarki maupun pembagian fungsi kekuasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan Yunani. Karena itu, kepercayaan mereka tidak membatasi ajaran rasionalnya.
Ahmad Hanafi menyebutkan faktor-faktor obyektif mengapa sebagian besar ulama mirip yang dipelopori filosof-filosof Islam dan ulama-ulama Mu’tazilah mampu menerima filsafat Yunani, yaitu :
1. Ketelitian yang dimiliki oleh akal Aristoteles dan ilmu-ilmu matematika yang cukup mengagumkan dunia pikir Islam, sehingga mereka mempercayai kebenaran logika itu dan kejelasan seluruh hasil fatwa Yunani termasuk di dalam lapangan ketuhanan (metafisika). Kekaguman itu dapat dijumpai dalam buku Al-Munqizu min al-Dalal karya al-Ghazali.
2. Corak keagamaan pada filsafat Yunani ketika menggambarkan Tuhan dan kebahagiaan manusia. Mereka yang mendapatkan ajaran filsafat Yunani memahami bahwa corak keagamaan yang ditawarkan sejalan dengan corak keagamaan Islam yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan zuhud serta tasawuf dan peleburan diri pada Tuhan, sebagai jalan pendekatan manusia kepada-Nya. Meskipun corak keagamaan itu bekerjsama datang dari pikiran-pikiran lain bukan Yunani, adalah pikiran-pikiran Romawi di Roma, pikiran Mesir di Iskandaria, pikiran Poenisia dan timur serta Semit di timur erat.
3. Para penerjemah menyangka bahwa corak keagamaan yang diinformasikan merupakan fatwa filsafat Yunani, padahal materi terjemahan itu merupakan karya pemikir non Yunani mirip pemikir di kalangan Yahudi dan Masehi yang memakai sistematika berpikir filsafat dalam menjelaskan paham keagamaannya.
Dari ketiga faktor tersebut, nampak efek filsafat Yunani yang begitu berpengaruh dalam anutan rasional ulama Islam zaman klasik disebabkan oleh kebenaran nalar filsafat dan persamaan corak keagamaan yang turut memantapkan perasaan dalam mempertahankan keyakinan-kepercayaan agama. Meskipun pada pertengahan kedua masa kelima Hijriah, terjadi penolakan terhadap fatwa filsafat, namun penolakan itu sendiri menggunakan nalar argumentasi filosofis.
Penolakan itu sendiri tidak mampu dihindarkan sebab adanya perbedaan fundamental antara fatwa rasional Yunani dan pemikiran rasional Ulama Islam Zaman Klasik. Terhadap penolakan ini, filosof-filosof Islam mengusahakan pemaduan, dengan dua jalan yaitu :
1. Memberikan ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat Yunani, menghilangkan kejanggalan-kejanggalannya dan mempertemukan pikiran filsafat yang berlawanan. Buku al-Farabi yang berjudul al-Jam’u Baina al-Hakimain (Pemaduan antara dua filosof: Plato dan Aristotels) mencerminkan cara tersebut.
2. Menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan) agama dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat atau dengan perkataan lain, penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.
Terhadap manisfestasi penerimaan filsafat Yunani mirip yang terungkap dalam dua jalan tersebut, menjadikan masalah perihal kebenaran penundukkan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat yang berarti memposisikan wahyu di bawah akal atau wahyu harus tunduk dengan kemauan akal. Harun Nasution dalam ulasannya wacana ‘Akal dan Akhlak’, mengungkapkan bahwa konsep hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah) yang terkandung dalam Quran membawa pada keyakinan tidak adanya kontradiksi antara agama dan ilmu pengetahuan. Sumber agama yakni wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, adalah Tuhan. Maka antara keduanya tidak bisa ada pertentangan.
Penulis memahami penjelasan tersebut sebagai budbahasa dalam berilmu, yakni menyadari akan keterbatasan logika dalam memahami wahyu alasannya Alquran disusun atas redaksi ayat-ayat dengan konstruksi pemahaman ayat sebagai pohon pikiran yang mesti dicari buah pikirannya dalam upaya membumikan wahyu sehingga menyebabkan dampak yang riil dalam kehidupan insan.
C. Pandangan Filosof Islam Terhadap Filsafat Yunani
Suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam suatu lingkungan yang berbeda-beda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lainnya, sehingga imbas lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Dengan lahirnya filsafat dalam dunia Islam, maka muncullah beberapa tokoh-tokoh pemikir dalam Islam atau filosof-filosof Islam yang dianggap sebagai pelopor utama dalam bidang filsafat. Adapun filosof-filosof Islam cukup banyak, sehingga penulis hanya menyebutkan 4 filosof terkenal yang penulis anggap dapat mewakili para filosof yang lainnya karena pengaruhnya yang begitu besar dalam dinamika intelektual kaum muslimin, adalah al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd:
1. al-Kindi
Nama lengkap filosof muslim, peletak dasar pertama filsafat Islam yakni : Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishak ibn Sabbah ibn Imran Ibn Ismail al-Ash’ats bin Qais al-Kindi, (Kindah yaitu salah satu suku Arab Besar pada kala pra Islam). Beliau lahir di sekitar satu dasa warsa sebelum Khalifah Harun al-Rasyid meninggal sekitar tahun 801 M, Ayahnya Ishaq al-Sabbah ialah salah seorang Gubernur Kufah pada kurun ke-Khalifahan Abbasiyah al-Mahdi dan Rasid, sedang neneknya yakni raja-raja di tempat Kindah (Arabia Selatan) dan sekitarnya.
Al-Kindi di abad kecilnya yakni seorang anak yang memiliki pembawaan suka membaca dan gemar mempelajari beberapa ilmu pengetahuan, sehingga ia dikenal bukan hanya sebagai penerjemah kitab filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab tapi juga dikenal hebat dalam ilmu kalam serta ia membahas beberapa macam ilmu pengetahuan untuk diubahsuaikan dengan pendirian Islam. Sedang pengetahuannya perihal bahasa Yunani begitu dalamnya sehingga dapat menerjemahkan kitab Yunani dengan gampang ke dalam bahasa Arab dan risikonya dia termasuk pelopornya.
Kemudian al-Kindi selain filosof dia juga ahli dalam ilmu pengetahuan, sehingga al-Kindi membagi pengetahuan ke dalam dua bahagian :
1. Pengetahuan Ilahi علم الهى : Drive science, sebagai yang tercantum dalam Qur’an, yaitu pengetahuan pribadi yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini yaitu “keyakinan”
2. Pengetahuan manusiawi علم إنسا نى : human Science, atau filsafat. Dasarnya adalah aliran (ratio reason).
Kedua macam ilmu pengetahuan tersebut, al-Kindi memandang bahwa pengetahuan Ilahi dan pengetahuan manusiawi keduanya mempunyai tujuan yang sama adalah masing-masing membuktikan apa yang benar dan apa yang baik. Bedanya pengetahuan Ilahi menempuh jalan syariat, sedang pengetahuan manusiawi menempuh jalan pembuktian, maka dalam hal ini pandangan al-Kindi wacana filsafat yaitu wacana hakekat (kebenaran) sesuatu kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniah) ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu perihal semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi kasus-kasus yang merugikan.
Dari definisi tersebut maka filsafat itu bertujuan untuk mengetahui kebenaran yang bersifat amalan dalam arti mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Makara kesimpulannya semakin erat kepada kebenaran semakin bersahabat pula kepada kesempurnaan, sehingga filsafat yang paling tinggi menurut al-Kindi ialah filsafat tentang Tuhan sebagaimana yang dikatakan “'Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yakni ilmu perihal yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala'.
2. al-Farabi
Abu Nazr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij suatu desa di Farab (Transoxania di tahun 870 M) berdasarkan keterangan ia berasal dari Turki dan orang tuanya yakni seorang jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab ia mencar ilmu di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu. Di sana beliau mencar ilmu pada Abu Bishr Matta Ibn Yunus (Penterjemah) dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun kemudian dia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif al-Daulah memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Saif al-Daulah ialah daerah pertemuan andal-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. Dalam umur 80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M.
Sejak kecilnya, al-Farabi suka belajar dan dia memiliki kecakapan luar biasa dalam lapangan biasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya yakni : Bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan, al-Farabi nampaknya dia tidak mengetahui bahasa Yunani dan Suryani, yakni bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Tapi sesudah berumur 40 tahun al-Farabi meninggalkan negerinya dan menuju ke kota Baghdad yang pada dikala itu merupakan kota ilmu pengetahuan dan sentra pemerintahan. Di Kota itulah ia mulai mencar ilmu akal/ilmu mantik pada Abi Bishr Matta Ibn Yunus. Di kota ini ia menghabiskan waktunya selama 20 tahun untuk menuliskan dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan sekaligus dia mengajar.
Dalam buku terakhirnya (Ihsa‘u al-Ulum), al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bab-bagiannya, yaitu ilmu-ilmu bahasa, ilmu mantik, ilmu matematika, dan ilmu-ilmu lainnya, ini telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya, tapi namun al-Farabi hanya menambahkan dari sebelumnya itu diantaranya : ilmu fiqhi dan ilmu kalam. Karena kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu ke-Islaman yang menerima perhatian besar pada masanya itu.
Sehingga al-Farabi menjadi sangat terkenal pada kurun-era pertengahan, sebagaimana dikatakan Ahmad Hanafi bahwa pada periode-periode pertengahan, al-Farabi menjadi sangat terkenal, sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan disalin pula ke dalam bahasa Ibrani. Sampai kini salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa, di samping salinan dalam bahasa latin, baik yang disalin dalam bahasa Arab atau dari bahasa Ibrani tersebut.
3. Al-Ghazali
Abu Hamid bin Muhammad bin al-Ghazali, menerima gelar “Hujjatul Islam”, ia lahir pada tahun 450 H/ 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di bersahabat Tusdi Khurasan (Iran). Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak terhadap segala-galanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperolehnya dari al-Juwaini. Di dalam ilmu kalam tersebut terdapat beberapa anutan yang saling bertentangan, maka timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali; pedoman manakah yang sebetulnya benar di antara semua ajaran tersebut?
Dalam bukunya, al-Munqiz Min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), di sini al-Ghazali ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, ialah kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, risikonya al-Ghazali memperolehnya apa yang dicari itu lewat tasawwuf. Tasawuf yang mampu menghilangkan rasa syak yang usang mengganggu dirinya, dan dalam tasawuflah beliau memperoleh doktrin yang dicarinya, sehingga di dalam pengetahuan gaib cahaya yang diturunkan. Tuhan ke dalam dirinya itulah yang menciptakan al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali
Sebagai seorang yang digelar Hujjatul Islam, al-Ghazali telah menguasai ilmu flsafat dengan sangat mendalam, sehingga beliau berhak di sebut sebagai seorang filosof. Meskipun al-Ghazali telah memerangi filsafat mirip dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” isi pada waktu al-Ghazali bertindak sebagai tokoh Islam bukan sebagai filosof, sebagaimana yang dikatakan Ahmad Hanafi bahwa Tahafut al-Falasifah, di mana ia bertindak bukan sebagai seorang filosof, melainkan sebagai seorang tokoh / Islam yang hendak mengeritik filsafat dan menawarkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalan, adalah dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama.'
4. Ibn Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Bin Rusyd, lahir di Cordova tahun 520 H/ 1125 M. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan memiliki kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya yaitu seorang hakim terutama dalam aturan Islam dan neneknya dikenal sebagai seorang ulama fikih dalam mazhab Maliki.
Dari keluarga ulama, Ibn Rusyd sejak kecil ia tekun mencar ilmu agama Islam, terutama ilmu fikh dari ayahnya. Sehingga dalam usia yang masih muda ia telah mampu menghapal kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. Di samping itu juga mencar ilmu sastera dan syair Arab, namun Ibn Rusyd menekuni pelajaran agama Islam, tapi dia diberikan perhatian khusus terhadap pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, matematika dan filsafat.
Adapun tentang filsafat Ibn Rusyd yang sangat menarik perhatian umum antara lain sebagai berikut :
1. Tentang PengetahuanTuhan terhadap soal juziyat.
2. Tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya.
3. Tentang keazalian dan keabadian alam.
4. Tentang gerak dan keazaliannya, dan
5. Tentang akal yang universal dan satu.
Kemudian pada garis besar filsafatnya, dia mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang bergotong-royong dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapinya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan mendalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak terang kepada kita.
III. PENUTUP
Dari uraian dalam pembahasan di atas, maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kaum muslimin mulai mengadakan kontak dengan filsafat Yunani dikala mereka mulai menyebarkan Islam ke luar jazirah Arab, kemudian dimulainya penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
2. Filsafat Yunani mampu diterima oleh sebagian besar ulama Islam Zaman Klasik disebabkan oleh spirit Quran yang mendorong optimalisasi penggunaan logika, sedangkan keyakinan penggunaan nalar ialah bab dari aliran filsafat Yunani yang sangat menghargai kemerdekaan ajaran.
3. Pada dasarnya Islam tidak mencegah orang mempelajari atau mendalami filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat, berpikir menurut logika untuk memperkuat kebenaran yang dibawa oleh Quran dengan dalil nalar dan pembahasan rasional. Dengan demikian Islam sangat menghargai penggunaan akal dan menjamin kemerdekaan berpikir, sehingga banyak ulama yang menganggap sangat penting adanya filsafat, alasannya adalah dapat membantu dalam menjelaskan isi kandungan Alquran.
DAFTAR PUSTAKA
Ala, Maryam Ambo. Diktat Filsafat Islam. Ujungpandang: Unismuh, 1993.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Alisyahbana, Sutan Takdir. Pembimbing ke Filsafat, Jilid I. t.tp. : PT. Pustaka Rakjat, t.th.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.
Dasoki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme Dalam Islam. Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Gagasan dan Pemikiran). Bandung: Mizan, 2001.
Platen, A. V. Sedjarah Filsafat Barat,. Bandung: Balai Pendidikan Guru, t.th.
Poerwantana dan A. Ahmad, Seluk Beluk Filsafat Islam. Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.
Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Edisi II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Rasyidi, H.M. dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), h. 23.
A. V. Platen, Sedjarah Filsafat Barat, (Bandung: Balai Pendidikan Guru, t.th.), h. 47. Lihat Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing ke Filsafat, Jilid I (t.tp. : PT. Pustaka Rakjat, t.th.), h. 41.
H.M. Rasyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Cet.I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 87.
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 9-10.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 43.
Yunazril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, h. 19-20.
C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Edisi II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 59.
Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran) (Bandung: Mizan, 2001), h. 7.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 83.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 53.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 55.
Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran), h. 56.
Thawil Akhyar Dasoki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993), h. 1.
Maryam Ambo Ala, Diktat Filsafat Islam (Ujungpandang: Unismuh, 1993), h. 48.
Harun Nasution, Filsafat Mistisisme Dalam Islam (Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 15.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 74.
Harun Nasution, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, h. 15-16.
Harun Nasution, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, h. 26.
Poerwantana dan A. Ahmad, Seluk Beluk Filsafat Islam (Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), h. 133.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 82.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 143.
Maryam Ambo Ala, Diktat Filsafat Islam, h. 81-82.
0 Komentar