Jasaview.id

Konsep Hukuman Dalam Pendidikan Islam

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk paedagogis yang membawa potensi yang mampu dididik dan dapat mendidik. Dengan potensi ini, manusia mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. (QS. Al-Isra/17: 70) Untuk menumbuhkan dan membuatkan potensi tersebut, pendidikan merupakan sarana yang menentukan hingga ke titik optimal kemampuan-kemampuan mampu dicapai. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, anak dan segenap kemampuan dan bakatnya mampu berkembang secara interaktif dan dialektis antara kemampuan dasarnya dan pengaruh pendidikan. (Arifin, 1993: 1)
          Secara kodrati, anak membutuhkan bimbingan dari orang cukup umur - sebagai pendidik - untuk mengarahkannya menjadi seorang yang mampu mengenal dirinya dan Tuhannya melalui suatu proses yang bertahap. Bimbingan atau yang secara lebih luas dikenal dengan pendidikan merupakan salah satu usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. (Marimba, 1989: 19) Tetapi, kehidupan manusia memiliki banyak kecenderungan. Manusia terkadang cenderung untuk melakukan hal yang kasatmata dan mematuhi aturan-aturan yang telah ada atau sebaliknya melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum-hukum tersebut.
Pendidikan Islam, sebagai salah satu bentuk pendidikan yang berpijak pada fitrah manusia mengakui adanya kecenderungan insan tersebut. Pendidikan Islam telah mengungkapkan berbagai macam metode supaya potensi yang baik mampu dikembangkan dan menjauhkan kecenderungan insan dari penyimpangan-penyimpangan. Salah satu metode yang dicontohkan pendidikan Islam yakni pinjaman eksekusi atau sanksi bagi anak latih.

B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji terfokus pada:
1.      Apa yang dimaksud dengan eksekusi?
2.      Bagaimana jenis dan fungsi hukuman dalam pendidikan Islam?
3.      Bagaimana penerapan hukuman dalam pendidikan Islam.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman
Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan atau kegiatan yang berorientasi kepada tujuan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan diharapkan dicapai oleh pendidik dan anak bimbing. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari faktor pendidik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, lingkungan pendidikan dan anak ajar.
Alat pendidikan sebagai salah satu komponen dalam mencapai tujuan pendidikan menempati posisi yang sangat urgen. Sutari Imam Barnadib dalam Jalaluddin (1994: 56-57) menyatakan bahwa alat pendidikan merupakan suatu tindakan antar situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan di dalam pendidikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa alat pendidikan bukan suatu resep yang sewaktu-sewaktu dapat digunakan secara sempurna guna dan mantap. Alat pendidikan merupakan sesuatu yang harus dipilih, sesuai dengan tujuan pendidikan.
Hukuman merupakan salah satu alat pendidikan yang sifatnya kongkrit merupakan suatu hal yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat. Namun dalam hal ini perlu diberi definisi dan batasan mengenai hukuman yang dimaksudkan dalam dunia pendidikan. Alisuf Sabri (1991: 86) menyatakan bahwa hukuman adalah tindakan pendidikan yang sengaja dan secara sadar di berikan kepada anak asuh yang melaksanakan suatu kesalahan, semoga anak didik tersebut menyadari kesalahannya dan berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.
Meskipun eksistensi eksekusi terdapat dalam pendidikan Islam, namun dalam hal ini harus ada tahap-tahap yang harus dilalui dan diperhatikan bagi seorang pendidik sebelum eksekusi itu diterapkan. Tahapan yang dimaksud yakni pinjaman nasehat, bimbingan, larangan, teguran, peringatan dan bahaya. (Hasbullah, 1999: 29-30) Dalam arti bahwa hukuman bukanlah suatu hal yang pertama dibayangkan oleh seorang pendidik. Pemberian Hukuman sebagai alternatif terakhir merupakan cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Hal ini mampu dilihat dalam hadis Nabi saw.: “Perintahkanlah anakmu melakukan shalat dikala berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka alasannya meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun.” (Abu Daud, 179)
Berdasarkan hadis ini, pendidik boleh saja memperlihatkan hukuman sebagai salah satu alat pendidikan dan sifatnya edukatif. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk mencegah terulangnya pelanggaran, tetapi mampu menghasilkan kedisiplinan. Bahkan pada taraf yang lebih tinggi akan menginsyafkan anak untuk tidak menciptakan kesalahan dan melanggar hukum. Dengan demikian berbuat atau tidak berbuat bukan alasannya adalah takut pada eksekusi, akan tetapi karena keinsyafannya sendiri. (Marimba, 1989: 19) Hal ini memperlihatkan sebagai suatu kesadaran bertingkah laku sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama yang berlaku, atau perlindungan eksekusi memberi perlindungan bagi perkembangan akhlak anak latih.
Hukuman merupakan suatu tindakan yang digunakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau hukuman sebagai alat pendidikan mampu membangkitkan kesadaran dan pengakuan akan kebenaran, bahwa melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan yaitu sesuatu yang tidak baik. 

B. Jenis dan Fungsi Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pada umumnya, hukuman dalam pendidikan terbagi atas dua jenis ialah eksekusi badan/fisik dan eksekusi mental/psikis. Hukuman badan/fisik ialah sumbangan hukuman yang mengenai badan atau jasmani anak asuh, seperti dipukul, dicubit, berdiri bahkan disuruh jongkok di bawah meja dan sebagainya. Sedangkan eksekusi mental/psikis adalah pemberian eksekusi yang menyentuh perasaan anak asuh, seperti dimarahi, ditegur dengan kata kasar, diejek, dimaki, dipermalukan di depan teman-temannya dan sebagainya yang berhubungan dengan perasaan.
Meskipun mengakibatkan penderitaan bagi siterhukum (anak asuh), namun hukuman itu hendaknya dapat juga menjadi alat motivasi, alat pendorong untuk mempergiat kegiatan belajar maupun perbaikan terhadap sikap dan perilaku anak asuh.
Sementara itu, Suwarno (1997: 177) mengemukakan pula bentuk eksekusi dalam pendidikan sebagai berikut : 1) Hukuman assosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akhir eksekusi ada assosiasinya dengan kesalahan anak, 2) Hukuman logis, di mana anak dihukum hingga mengalami penderitaan yang ada korelasi logis dengan kesalahannya, dan 3) Hukuman moril, di mana anak latih bukan hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan dan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus mendapatkan hukuman sebagai sesuatu yang harus dialaminya.
Ketiga bentuk hukuman tersebut, diperlukan menjadi alat pengontrol tingkah laku anak serta menanamkan pengertian perihal nilai adab pada anak. Bila seorang anak mengetahui bahwa ia pernah dieksekusi atas suatu perbuatan, setidaknya dia akan berpikir untuk melakukan perbuatan yang sama.
Dalam dunia pendidikan, eksekusi merupakan hal yang masuk akal, bilamana derita yang ditimbulkan oleh eksekusi memiliki nilai faktual dan menjadi derma bagi perkembangan adab anak latih. Hukuman sebagai alat pendidikan bahu-membahu tidak mutlak dipakai. Dalam hal ini, al-Gazali berpendapat bahwa hendaknya orang bau tanah atau pendidik tidak cepat menjatuhkan eksekusi terhadap anak didik yang menciptakan kesalahan dan melanggar peraturan. Beliau menyampaikan bahwa hukuman yakni jalan yang paling akhir apabila cara lain belum mampu mencegah anak melakukan pelanggaran. Demikian halnya Ibnu Khaldun berpandangan bahwa hendaknya diluruskan perbuatan si anak dengan “approach” dan lemah lembut. Kalau hal tersebut tidak bisa, maka dipakai kekerasan. (Al-Abrasyi, 1993: 156)
Berdasarkan pendapat di atas, maka pada prinsipnya tunjangan eksekusi kepada anak-anak yang melanggar aturan bisa saja dilakukan. Hal ini didasarkan bahwa eksekusi bersumber dari Allah swt. sebagai balasan bagi perbuatan. Alisuf Sabri dalam hal ini menyatakan bahwa eksekusi dipakai untuk : 1) Memperbaiki kesalahan/perbuatan anak ajar, 2) Mengganti kerugian akibat perbuatan anak ajar, 3) Melindungi masyarakat atau orang lain semoga tidak memalsukan perbuatan yang salah, 4) Menjadikan anak latih takut mengulangi perbuatan yang salah. (Suwondo, 1977: 141)
Pemberian eksekusi pada anak latih yakni demi kebaikan dan kepentingan dirinya dan orang lain. Tujuan dari eksekusi dalam pendidikan adalah menjadikan keinsyafan pada anak melaksanakan kesalahan yang tidak diperbuatnya dari menyebabkan kemauan untuk tidak mengulangi kesalahan yang tidak baik. (Nata, 1997: 104-105)

C. Penerapan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman sebagai bagian dari alat pendidikan tidaklah mutlak digunakan. Seorang pendidik tidak bebas sedemikian rupa untuk menghukum anak didiknya. Hukuman di dalam pendidikan Islam bersifat relatif dan kondisional, ialah kesalahan atau pelanggaran yang sama belum tentu mendapat eksekusi yang sama pula, alasannya mereka berada dalam kondisi dan situasi yang berbeda pula termasuk orang yang menjatuhkan hukuman juga berbeda.
Abdurrahman mengemukakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penggunaan dan dukungan hukuman terhadap anak bimbing, seperti :
1.      Prinsip psikologis, adalah tunjangan hukuman dilihat dari segi psikologis/ psikis siswa, dalam hal ini siswa bertekad untuk tidak mengulangi kesalahannya dan dapat diterima secara sukarela bahkan tidak menyinggung harga diri.
2.      Prinsip sosiologis, memisahkan anak dari kelompok anak akan merasa terkucilkan dan tersisihkan atau merasa diacuhkan.
3.      Prinsip biologis ialah, guru tidak boleh mencederai fisik anak ajar, hukuman diberikan alasannya terpaksa, jangan menghukum pada bab alat vital anak latih, dan hukuman diberikan dengan penuh kesadaran.
4.      Paedagogis, yaitu eksekusi yang diberikan hendaklah bersifat mendidik, bukan merupakan penyiksaan atau pembalasan. (Abdurrahman, 1998: 82)
Berdasarkan prinsip tersebut sebelum pendidik memperlihatkan atau menjatuhkan hukuman kepada anak asuh yang melaksanakan kesalahan, hendaklah terlebih dahulu mengetahui kondisi kejiwaan anak tersebut. Jika tidak, hasil dari eksekusi akan mendatangkan imbas negatif terhadap langsung anak bahkan akan merugikan anak ajar.
Dalam mendidik anak, memang diharapkan larangan-larangan. Kalaupun orang tua/pendidik sekali-kali bertindak keras, hal ini sama sekali tidak merugikan anak asuh. Asal saja hubungan orang tua dan anak bimbing tetap baik serta tetap terdapat ikatan yang dekat. Artinya acapkali orang renta perlu secara tegas menyampaikan “tidak” sebelum sesuatu itu rusak. Karena, justru tanpa larangan, seorang anak akan kehilangan arah dan keseimbangan jiwa.
Setiap pendidik sangat menginginkan anak didiknya berperilaku yang semestinya dan berakhlak yang mulia serta bertanggungjawab. Hal ini dimaksudkan bukan karena takut akan hukuman dan ganjaran, akan tetapi karena stimuli dari dalam diri anak. Artinya anak akan menetapkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, bukan alasannya tuntutan dari siapa-siapa atau pihak lain (pendidik), tetapi atas kesadaran dan keinsyafan sendiri, dengan akidah bahwa sikap itu salah atau perilaku itu ialah benar.
Kaprikornus, hukuman yakni penderitaan yang sengaja diberikan pada anak didik supaya betul-betul mampu dirasakan, sehingga anak tidak mau lagi mengulangi perbuatannya yang dianggap tercela. Oleh alasannya adalah itu merupakan syarat mutlak untuk meneliti apakah anak betul-betul bersalah sebelum menjatuhkan eksekusi kepadanya.
Banyak para pakar mengemukakan bahwa lebih baik anak didekati dengan cara lain, mirip nasehat, peringatan daripada hukuman. Namun disadari pula, bahwa bagaimanapun buruknya eksekusi sebagai alat pendidikan masih lebih baik, daripada orang renta atau pendidik membiarkan anak bersikap acuh tak hirau. Sikap hirau tak acuh merupakan perilaku yang paling jelek dalam pendidikan.
Selain itu, peranan pendidik sangat penting dalam meningkatkan kedisiplinan seorang anak. Ini sangat tergantung bagaimana cara pendidik menerapkan kedisiplinan. Dengan demikian anak mentaati peraturan (tata tertib) bukan alasannya ada perasaan terpaksa akan tetapi hal tersebut dilakukan atas kemauan dan kehendak hatinya.
Dalam hal ini, Rasulullah pula menyontohkan cara yang dilakukan dalam mengatasi dan memperbaiki kesalahan anak sebagai berikut:
1.      Memberitahu kesalahan dirinya dengan diiringi dengan bimbingan
2.      Menyalahkan dengan lembut
3.      Menyalahkan dengan aba-aba
4.      Menyalahkan dengan taubih (menjelekkan)
5.      Memperbaiki kesalahan dengan meninggalkan pergi (tidak mengajak orang yang berbuat salah.
6.      Memperbaiki kesalahan dengan memukul
7.      Menyadarkan kesalahan dengan sanksi yang keras. (Ulwan, 1992: 163-166)
Di sini mampu dilihat bagaimana sanksi itu diakui Islam, sesudah upaya nasehat dan sanksi lainnya dilakukan. Dalam arti bahwa dengan adanya hukuman akan tersebarlah keamanan, keselamatan akan terwujud, makna kesejahteraan dan kedamaian. Dan yang lebih penting menciptakan mereka yang melakukan kesalahan akan menjadi jera dan insyaf, lalu mereka yang berniat melaksanakan kesalahan akan segera mengurungkan niatnya. Oleh alasannya itu, tepatlah ungkapan klasik menyampaikan “orang yang berbahagia adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari masalah orang lain”.

III. PENUTUP
Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, mampu dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1.  Hukuman merupakan suatu tindakan yang dipakai dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan serta sebagai alat pendidikan mampu membangkitkan kesadaran dan pengakuan akan kebenaran, bahwa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan adalah sesuatu yang tidak baik
2.   Jenis hukuman dalam pendidikan, yaitu: 1) Hukuman assosiatif, 2) Hukuman logis, dan 3) Hukuman moril. Fungsi perlindungan eksekusi pada anak latih yakni demi kebaikan dan kepentingan dirinya dan orang lain serta menjadikan keinsyafan pada anak dari melaksanakan kesalahan.
3.   Eksistensi hukuman terdapat dalam pendidikan Islam, namun dalam hal ini harus ada tahap-tahap yang harus dilalui dan diperhatikan bagi seorang pendidik sebelum hukuman itu diterapkan. Tahapan yang dimaksud yaitu dukungan nasehat, bimbingan, larangan, teguran, peringatan dan bahaya



DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman. Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar Islam. Cet. I; Jakarta: al-Quswa, 1998.
al-Abrasyi, Athiyah. Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Arifin, H. M. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Daud, Abu. Sunan Abu Daud, Juz I. Suria: Dar al-Hadis t,th.
Departemen Agama RI., Alquran al-Karim. Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Jalaluddin et.al. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet. VIII; Bandung: al-Ma’berakal, 1989.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Sabri, Alisuf. Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Suwondo, Sutimah. Ilmu Pendidikan. Ujungpandang: FIP IKIP, 1977.
Ulwan, Abdullah Nasih. Pendidikan Anak Menurut Islam Kaidah-Kaidah Dasar, Judul asli Tarbiyyatul Aulad fil-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Masyhur Hakim. Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.

Posting Komentar

0 Komentar